Blogger templates

wilujeng sumping ka sadayana dina blog danstkja.blogspot.com

About Me

Foto saya
assalamu'alaikum Wr. Wb,,,,,,,,,,,,,, wilujeng sumping dina blog simkuring mudah-mudahan ieu blog ageung manfaatna khusus kango simkuring umum kango sadayana,,,,

Kamis, 07 Juli 2011

Imu Nahwu

Shorof : Al-Muqoobalatu (Fa fi-‘il ; ‘Ain fi’il ; dan Lam fi’il)


Al-muqoobalatu artinya ber-hadap2an atau mencocokkan. Sebagian besar dari fi-’il2 di dalam bahasa arab (Menurut Ilmu Shorof) asalnya tiga huruf. Seperti ma-na-‘a ; ka-ta-ba dll.
Contoh :
Ma-na-‘a dikatakan atas timbangan Fa-‘a-la (kiyas dari wazan Fa-‘a-la).
Jadinya begini ; Fa-‘a-la = Ma-na-‘a.

فَعَلَ = مَنَعَ

Oleh sebab Mim berhadapan atau berbetulan dengan fa dari fa-‘a-la, maka dikatakan Fa fi-‘il. Dan Nun itu oleh sebab berhadapan dengan ‘ain dari fa-‘a-la, maka dikatakan ‘Ain fi-‘il, dan ‘Ain itu lantaran berbetulan dengan lam dari fa-‘a-la, maka dikatakan Lam fi-‘il. Begitulah sekalian fi-‘il yang asalnya tiga huruf, yakni tiap2 fi-‘il yang asalnya tiga huruf itu, huruf yang pertama dikatakan fa fi-‘il, walaupun bukan fa. Dan yang kedua dinamakan ‘ain fi-‘il, walaupun bukan ‘ain. Dan yang ketiga disebut lam fi-‘il, walaupun bukan lam.
Kalau fi-‘il itu bertambah hurufnya seperti yam-na-‘u, yam-na-‘uuna atau im-ta-na-‘a umpamanya, maka huruf yang bertambah itu tidak dihitung, tetapi tetap kita berkata mim itu fa fi-‘il, nun itu ‘ain fi-‘il dan ‘ain itu lam fi-‘il. Selain dari itu dinamakan zaidah, yakni huruf tambahan.
Dan terkadang fi-‘il itu asalnya empat huruf seperti da-h-ro-ja atas timbangan fa-’-la-la, maka dal itu dikatakan fa fi‘il, ha itu ‘ain fi’il, serta ro lam fi’il yang pertama, jim itu lam fi’il yang kedua.
Kalau bertambah seperti mu-da-h-ri-jun atau mu-ta-da-h-ri-ja-tun, maka tambahan itu tidak dihitung, yakni tetap dikatakan dal itu fa fi-‘il ; ha itu ‘ain fi-‘il ; ro itu lam fi-‘il pertama dan jim itu lam fi-‘il yang kedua. Selain dari itu dikatakan huruf zaidah (tambahan).
Catatan ini mudah2-an berguna mengingatkan diri penulis sendiri yang lupa, atau belum berkesempatan memahami istilah yang digunakan tatkala melihat perubahan2 kalimah ke bentuk lain menurut wazannya – serta mauzunnya. Secara filosofis hal ini sangat penting ditegaskan untuk menghalangi (ma-na-’a) kelancangan. Tanpa memahami posisi perubahan2 bangunan kalimah dalam bahasa arab, sulit diterima kemampuan seseorang yang coba menulis (ka-ta-ba), mengutarakan pendapat serta pemahamannya dengan terbuka kepada khalayak(tabligh) tentang Al-qur’anul kariem, sunnah nabi, qoul ulama, dll. yang nota bene tersurat dengan Bahasa Arab tersebut. Lebih baik menghalangi kesalahan, daripada keliru menggunakan ro’yu, atau berupaya sungguh-sungguh memahami fan ilmu alat / shorof  dahulu, karena riskan resikonya apabila menyalahi. Dengan contoh kecil beginilah ‘lidah-lidah’ dan tinta para ulama senantiasa basah laksana nan tak pernah kering berbuat (fa-’a-la), menjaga originalitas atau keotentikan kalamulloh dan sunaturrosul. -Wallohu subhaana wa ta’alaa bil ‘alam- *** (Iqbal1).

8. Shorof : Fi’il Tsulatsiy (Mujarrod) Bab kelima

Mei 23, 2011

 وَاِنْ كَانَ مَاضِيْهِ عَلَى وَزْنِ فَعُلَ مَضْمُوْمَ الْعَيْنِ فَمُضَارِعُهُ

 يَفْعُلُ بِضَمِّ اْلعَيْنِ نَحْوُ حَسُنَ يَحْسُنُ وَأَخَوَاتِهِ

Jika fi’il madhinya berwazan

 فَعُلَ

Fa-’U-La, yang didhammahkan ‘ain fi’ilnya, maka fi’il mudhari’nya berwazan

 يَفْعُلُ

Yaf-”U-Lu ; dengan dhammah ‘ain fi’ilnya.
contoh :

 حَسُنَ يَحْسُنُ

Ha-Su-Na ; Yah-Su-Nu, dan saudara-saudaranya.
:) ————————————————-
Ringkasan Fiil Tsulatsi Mujarrod, dari bab 1 s/d 6 :Untuk catatan ilmu shorof ini,  diutarakan tentang fi’il Tsulatsi Mujarrod dan pembagian bab-nya.
Fi’il Tsulatsi Mujarrod adalah fi’il yang terdiri dari hanya tiga huruf asli. Terbagi menjadi enam bab, yaitu ; 
  1. Bab I. Fa’ala Yaf’ulu (فَعَلَ يَفْعُلُ). Bab pertama ini biasanya berlaku “muta’addi” seperti نصر زيد عمرا. Tapi terkadang juga berlaku “lazim” seperti خرج زيد. Muta’addiadalah fi’il yang butuh maf’ul, sedangkan lazimadalah fi’il yang tidak butuh maf’ul.
  2. Bab II. Fa’ala Yaf’ilu (فَعَلَ يَفْعِلُ). Bab yang kedua ini sama dengan bab yang pertama yaitu biasanya berlaku “muta’addi” seperti ضرب زيد عمرا. Dan terkadang juga berlaku “lazim” seperti جلس زيد.
  3. Bab III. Fa’ala Yaf’alu (فَعَلَ يَفْعَلُ). Bab yang ketiga ini juga sama dengan bab yang pertama yaitu biasanya berlaku “muta’addi” seperti فتح زيد الباب. Dan terkadang berlaku “lazim” seperti ذهب زيد. Bedanya pada bab ketiga ini, ain fi’il atau lam fi’il-nya harus berupa huruf Halaq, yaitu حاء, خاء, عين, غين, همزة, هاء
  4. Bab IV. Fa’ila Yaf’alu (فَعِلَ يَفْعَلُ). Bab yang keempat ini sama dengan bab-bab sebelumnya, yaitu biasanya berlaku “muta’addi” seperti علم زيد المسئلة. Dan terkadang juga berlaku “lazim” seperti وجل زيد.
  5. Bab V. Fa’ula Yaf’ulu (فَعُلَ يَفْعُلُ). Bab yang kelima ini berbeda dengan bab-bab sebelumnya, karena ia hanya berlakulazimsaja seperti, حسن زيد
  6. Bab VI. Fa’ila Yaf’ilu (فَعِلَ يَفْعِلُ). Bab yang terakhir, yaitu bab yang keenam biasanya berlaku “muta’addi” seperti حسب زيد عمرا فاضلا. Tapi terkadang juga berlaku “lazim” seperti ورث زيد.  
Ref. : http://www.kangmahfudz.co.cc/2011/05/1-fiil-tsulatsi-mujarrod.html
Waallohu A’lam (Iqbal1).

7. Shorof : Fi’il Tsulatsi (Mujarrod) Bab keempat

Mei 23, 2011

وَإِنْ كَانَ مَاضِيْهِ عَلَى وَزْنِ فَعِلَ مَكْسُوْرَ اْلعَيْنِ فَمُضَارِعُهُ يَفْعَلُ

 بِفَتْحِ اْلعَيْنِ نَحْوُ عَلِمَ يَعْلَمُ إِلاَّ مَا شَذَّ مِنْ نَحْوِ حَسِبَ يَحْسِبُ

 وَأَخَوَاتِهِ.

Jika fi’il madhinya berwazan

 فَعِلَ

Fa-’I-La ; yang di kasrahkan ‘ain fi’ilnya, maka fi’il mudhari’nya berwazan

 يَفْعَلُ

Yaf-’A-Lu dengan fathah ‘ain fi’ilnya.
contoh :

 عَلِمَ يَعْلَمُ

‘A-Li-Ma ; Ya’-La-Mu, kecuali yang syadz dari contoh :

 حَسِبَ يَحْسِبُ

Ha-Si-Ba ; Yah-Sa-Bu, dan saudara-saudaranya.

6. Shorof : Fi’il Tsulatsi (Mujarrod) Bab ketiga

Mei 23, 2011

 وَيَجِيْءُ عَلَى وَزْنِ يَفْعَلُ بِفَتْحِ الْعَيْنِ إِذَا كَانَ عَيْنُ فِعْلِهِ أَوْ لاَمُهُ حَرْفاً

 مِنْ حُرُوْفِ الْحَلْقِ وَهِيَ سِتَّةٌ الهَمْزَةُ وَاْلهاَءُ وَاْلعَيْنُ وَاْلحاَءُ وَاْلغَيْنُ

وَاْلخاَءُ نَحْوُ سَأَلَ يَسْأَلُ وَمَنَعَ يَمْنَعُ وَأَبىَ يَأْبىَ شَاذٌّ.

Fi’il Mudhari (Dari Fi’il Madhi Tsulatsi Mujarrad yg ‘Ain fi’ilnya berharakat Fathah) juga datang dengan wazan

يَفْعَلُ 

(Yaf-’A-Lu) dg Fathah ‘Ain Fi’ilnya. Ini bilamana ‘Ain Fi’il atau Lam Fi’ilnya berupa huruf dari salahsatu huruf-huruf Halaq. Yaitu :

ء – هـ – ع – ح – غ – خ

(Hamzah, Ha’, ‘Ain, Ha, Ghain, Kha)
contoh :

سَأَلَ يَسْأَلُ 

Sa-A-La ; Yas-A-Lu,

 مَنَعَ يَمْنَعُ

Ma-Na-’A ; Yam-Na-’U
sedangkan contoh

 أَبىَ يَأْبىَ

A-Baa ; Ya’-Baa, adalah syadz.
(Note :  Syad, menyalahi dari asal serta kiasaannya)

5. Shorof : Fi’il Tsulatsi Mujarrod Bab pertama dan kedua

Januari 22, 2011

أَمَّا الثُّلاَثِيُّ الْمُجَرَّدُ : فَإِنْ كَانَ مَا ضِيْهِ عَلَى وَزْنِ فَعَلَ مَفْتُوْحَ الْعَيْنِ

    .فَمُضَارِعُهُ يَفْعُلُ أَوْ يَفْعِلُ بِضَمِّ الْعَيْنِ أَوْ كَسْرِهَا نَحْوُ ;

    نَصَرَ يَنْصُرُ ; وَضَرَبَ يَضْرِبُ

Adapun fi’il tsulatsi mujarrod : yaitu (Bab 1 / Bab 2) jika padafi’il madhi-nya berwajan fa-’a-layang difatahkan ‘ain fi’ilnya, maka pada fi’il mudhari’nya ikut wazan yaf-‘u-lu atauyaf-‘i-lu dengan didhommahkan ‘ain fi’ilnya atau dikasrahkan ‘ain fi’ilnya.
Contoh :

نَصَرَ – يَنْصُرُ

Na-sho-ro (Dia seorang laki2 telah menolong) ; Yan-shu-ru (Dia seorang laki2 akan/sedang menolong), dan

 ضَرَبَ  –  يَضْرِبُ

Dho-ro-ba (Dia seorang laki2 telah memukul) ; yadh-ri-bu (Dia seorang laki2 akan/sedang memukul)
Contoh2 Tsulatsi Mujarrod Bab 1 Klik :http://nahwusharaf.wordpress.com/belajar-ilal/wazan-fiil/fi%e2%80%99il-tsulatsi-mujarrad/contoh-tashrif-fiil-tsulatsi-mujarrad-wazan-bab-1/
(Ref. Al-Kailani ; 3)
——————
Glossary :
Fiil Tsulatsi Mujarrod = Jenis kata kerja yg berasal dari tiga huruf  dengan tdk menerima tambahan. Merupakan salah satu dari pembagian bentuk fi’il yg terdiri atas beberapa bab.
Fi’il Madhi : Kata kerja yg menunjukan makna yg terjadi pada waktu yg telah lewat. Wazan Tashrifnya ada 14. Binanya ada 6.
Fi’il Mudhore : Kata kerja yg menunjukkan makna waktu yg sedang terjadi (Hal) dan yg akan datang (Mustaqbal). (Akan/sedang). Wazan Tashrifnya ada 14. Binanya ada 12.
Wazan = Timbangan, Ukuran, Cetakan, Acuan, Referensi. Istilah yg dipakai dalam ilmu shorof untuk mengetahui perubahan fungsi dan makna kata seperti pada posisi : Fi’il Madhi, Fi’il Mudhore, Masdar, Isim Fa’il, Isim Maf’ul, Fi’il Amar, Fi’il Nahyi, Isim Makan/Zaman, Isim Alat.

Hikmah : Tawadhu, Rahasia Al-fiyah Bet 5, 6, 7.

Januari 11, 2011

  بسـم الله الرحمن الرحيم

Bait 5 :

وَتَقْتَضِي رِضَاً بِغَيْرِ سُخْطِ  #  فَـائِقَةً أَلْفِــــيَّةَ ابْنِ مُعْطِي

Maka ia menuntut keridhoan tanpa kemarahan (ketekunan dan kesabaran dalam mempelajarinya) # Ia telah mencakup Kitab Alfiyah karangan Ibnu Mu’thi (Imam Abu Zakariya Yahya putra Imam Mu’thie).
Qouluhu wa taqtadhie: Dalam bait 5 muqoddimah ini, Kyai Mushonnif  Syeikh Al-’alamah Imam Ibnu Malik menyampaikan pesan  khusus muatan kitab al-fiyahnya. Ia menuntut kepada keridloan ; dari Alloh SWT, pengarang dan dari yang mempelajarinya. Tekun dan sabar mempelajarinya dengan tidak disertai amarah. Alfiyah ini gaya bahasanya tidaklah sulit, mudah dicerna. Mampu mendekatkan pengertian yang jauh dalam ilmu nahwu dengan ungkapan yang ringkas. Kepadatan materinya dapat menjabarkan pengertian yang luas. Juga menyampaikan iklan bahwa karangan Al-fiyah kami (Kata Kyai Mushonif), sudah mencakup dan lebih unggul daripada alfiyah karangan Imam Ibnu Mu’thie.
Qouluhu Faiqotan : Bait ini disebutnya ‘Mutahharok’, -rubah ujung-, sebab asal lengkapnya, ‘faa ieqotan minha bi alfi baeti’.
Diceritakan bahwa setelah Kyai Mushonif selesai mengarang bait ini, mendadak semua karangan Al-fiyahnya hilang dari ingatan, mendadak menjadi lupa. Syahdan sampai 2 tahun lamanya, serta Kyai Mushonif sempat tidak sadarkan diri.
Dalam tidak sadarkan diri, syahdan Kyai Mushonif bermimpi jumpa dengan seseorang yang sudah sepuh. Kemudian orang tsb mengajukan pertanyaan kepada Kyai Mushonif :
“Bukankah engkau mengarang Al-fiyah, sudah sampai dimana ?”. Lantas orang tsb memberikan bait berikut,
“Wal hayyu qod yaghlibu alfa mayyiti”. (Dan adapun seorang yang hidup, terkadang dapat mengalahkan seribu orang yang telah meninggal).
Adapun orang yang dijumpai dalam mimpi tersebut tiada lain adalah Syaikh Al-’alamah Imam Abu Zakariya Yahya ibnu Imam Mu’thie, ulama yang telah terlebih dahulu mengarang alfiyah.
Setelah bermimpi seperti itu, Syeikh Ibnu Malik terbangun, dan dapat mengingat kembali karangan Al-fiyahnya seperti sedia kala. Lantas Ibnu Malik introspeksi dan memohon permintaan maaf  atas kemasgulan karangannya serta kekhilafannya, kurang tawadhu dan telah su’ul adab kepada Imam Ibnu Mu’thie dengan menyampaikan bait 6 berikut :
Bait 6 :

وَهْوَ بِسَبْقٍ حَائِزٌ تَفْضِيْلاً  #  مُسْـتَوْجِبٌ ثَنَائِيَ الْجَمِيْلاَ

Dan sebab lebih dulu sebetulnya beliaulah yang berhaq memperoleh keutamaan # dan  mewajibkan sanjungan indahku (untuknya).
Yang maksudnya, jadi karena Syeikh Ibnu Mu’thie sudah terlebih dahulu dalam zamannya, maka lebih utama mendapat  keunggulan, serta layak jika Ibnu Malik mengakui dan memberikan sanjungan keutamaan kepada kitab karangan Ibnu Mu’thie serta pribadinya. Adapun Ibnu Mu’thie, lahir tahun 564 H, wafat tahun 628 H (Berusia 64 tahun).
Sebagaimana ada ungkapan bahwa ; “Al-fadhlu lil mutaqoddimiena”.(Adapun keutamaan itu, tetap kepada rupa2 orang yang terdahulu). Seperti Imam dengan Ma’mum, Mubtada dengan Khobar, Jar dengan Majrur, Orang tua dengan Anak, dsb. Lantas Ibnu Malik berdo’a kepada Alloh SWT. dengan bait 7 berikut :
Bait 7 :

وَاللهُ يَقْضِي بِهِبَـاتٍ وَافِرَهْ #  لِي وَلَهُ فِي دَرَجَاتِ الآخِرَهْ

Semoga Allah menetapkan pemberian-pemberian yang sempurna # untuku dan untuknya didalam derajat-derajat akhirat.
Tanbih : Lafad “Wallohu yaqdhie” umpama menurut ilmu ma’ani termasuk kepada lafad khobar, maknanya du’a. Adapun yang dimaksudnya adalah ; “bi hibbati wafiroh”, yaitu “Tsubuutul iman wal islam” (Tetapnya iman dan islam).
I’lam : Tapi menurut sebagian ulama, bait ini kurang tepat, yang bagusnya adalah : “Wallohu yaqdhie bir-ridlo’a warrohmah # Lie wa lahu wa li jamie-iel ummah”. Wallohu a’lam. *** (Iqbal1).


Shorof : Bentuk / Bina Fi’il (Lanjutan Pembagian Fi’il)

Januari 6, 2011
Dan Bentuk Fi’il terbagi lagi kepada :
1. Bina Salim, artinya bentuk fi’il yg selamat pada asal huruf-hurufnya daripada huruf Illat, Hamzah, dan Tadh’if .
2. Bina Ghair Salim, artinya bentuk fi’il yg tidak selamat pada asal huruf-hurufnya daripada huruf Illat, Hamzah, dan Tadh’if .

“ وَنَعْنِيْ بِالسَّالِمِ مَا سَلِمَتْ حُرُوْفُهُ اْلاَصْلِيَّةُ الَّتِيْ تُقَابَلُ بِالْفَاءِ وَالْعَيْنِ وَالاَّمِ مِنْ حُرُوْفِ الْعِلَّةِ وَالْهَمْزَةِ وَالـتَّضْعِيْفِ “.

“Dan kami mengartikan tentang Fi’il Salim : adalah kalimat yang huruf-huruf aslinya yang terdiri dari Fa’ Fi’il, ‘Ain Fi’il, dan Lam Fi’il, selamat dari huruf-huruf ‘Illat, Hamzah, dan Tadh’if ” – (Al-Kailanie, Litashriefil-Izzie : 2 – 3). 
Contoh Bina Salim, seperti :

نَصَرَ – ضَرَبَ – فَتَحَ

Contoh Ghair Salim, seperti :

مَدَّ – سَأَ لَ  – قَالَ  – رَمَى 

*****
Glossary :
Huruf Hamzah, ialah kalimah yang asal huruf-huruf aslinya ada huruf hamzah pada Fa, ‘Ain, dan Lam fi’ilnya (Mahmuz).
Apabila posisi huruf hamzah menempati Fa’ Fi’il, maka dinamakan Bina’ Mahmuz Fa’.
Contoh : أ َمَلَ
Apabila huruf hamzah berada pada ‘Ain Fi’il, dinamakan Bina’ Mahmuz ‘Ain.
Contoh : سَأ َلَ 
Apabila huruf hamzah menempat posisi Lam Fi’il, maka disebut Bina’ Mahmuz Lam.
Contoh : قَر َأَ
Huruf ‘Illat, artinya sebab atau penyakit. Dinamakan demikian lantaran huruf2 ilat itu sering jadi sebab buat memanjangkan lain huruf. Dan juga sering dibuang dari satu kalimat lantaran tidak perlu sebagaimana dibuangnya sesuatu yg berpenyakit. Hurup ‘Illat ; ialah  Ya, Wawu, dan Alif.
Huruf Tadh’if, ialah huruf-huruf kembar/ganda/dobel (Fi’il Dobel) yang beridghom seperti Farro, ‘Adda, dsb. Idghom itu artinya memasukkan satu huruf kepada satu huruf seperti Faroro dijadikan Farro. Bentuk fi’il ini bisa merupakan fi’il Goer Salim, karena huruf asalnya tidak sebanding dg fa, ain dan lam pada wazan fa-a-la.
  • Maksud tadh’if  disini adalah jika pada Fi’il Tsulatsiy, yaitu jika ‘ain fi’il dan lam fi’ilnya terdiri dari huruf yang sejenis. Misalnya “Ro-d-da” :

  رَدَّ

  • Dan maksud tadh’if dari Fi’il Ruba’iy, yaitu jika fa’ fi’il danlam fi’il pertama sejenis. Juga ‘ain fi’il dan lam fi’il kedua sejenis. Misalnnya “Za-l-za-la”, “Sa-l-sa-la” :

 زَلْزَلَ  -  سَلْسَلَ 

Tadh’if, mujarodnya dho’afa, artinya lemah. Setelah didobel / ditambah, artinya jadi melemahkan. Wallohu a’lam. (***)

Tamsil : Setangkai Mawar Putih dan Sang Burung

November 25, 2010
Suatu hariada seekor burung yang jatuh cinta pada mawar putih.
Burung pun berusaha ungkapkan perasaannya.
Tapi mawar putih berkata ; “Aku tidak akan pernah bisa mencintai kamu”.
Burung pun tidak menyerah.
 
Setiap hari dia datang untuk menemui mawar putih.
Akhirnya mawar putih berkata ; “Aku akan mencintai kamu, jika kamu dapat mengubahku menjadi mawar merah !”.
Dan suatu hari burung pun datang kembali.
Dia memotong sayapnya dan menebarkan darahnya pada mawar putih.
Hingga mawar putih berubah menjadi mawar merah.
Mawar putih pun sadar seberapa besar burung mencintai dirinya.
Tapi semua terlambat.
Karena sang burung tak akan pernah kembali lagi ke dunia.
Hargailah siapapun yang mencintaimu. Sebelum dia pergi jauh untuk meninggalkanmu.
(syair dari seorang teman)
Itu adalah buah karya sastra yang cukup menyentuh. Tamsil legenda dari dua orang yang saling mengasihi. Syahdan, tamsil cerita romantisme seperti itu diabadikan juga oleh Ibnu Malik dalam Maha Karya Sya’ir Alfiyahnya.
Dalam beberapa satarnya di Bab Fi’il At-ta’ajjub  dapat ditemukan seperti bait berikut (Bait 475) :

وَتِلوَ أَفْعَلَ انْصِبَنَّهُ كَمَا # أَوفَى خَلِيْلَيْنَا وَأَصْدِقْ بِهِمَا

(Nashabkanlah lafadh yang mengikuti wazan af’ala, seperti dalam contoh ; Maa Aufaa Kholielaenaa dan Ashdiq Bihimaa. Artinya :Alangkah setianya dua orang kekasihku itu ; dan alangkah setianya keduanya itu). 
Atau contoh ungkapan  sya’ir lain :
“Kholielayyaa Maa Ahroo Bi Dzillubbi An Yuroo ; Shobuuron Wa Laakin Laa abiela Ilaash-shobri”.
Wahai kedua kekasihku, alangkah pantasnya bagi orang yang memiliki akal bila ia bersikap sabar. Akan tetapi tidak ada jalan untuk bersabar. Wallohu a’lam.*** (Iqbal1)

Wacana : Karakter Pemimpin Ideal, Telaah Analogis Alfiyah Ibnu Malik

November 11, 2010
Dalam sebuah organisasi, posisi seorang pemimpin memiliki peran sangat vital sekali, karena ia bagaikan hati dalam jiwa, ia adalah mesin bagi sebuah kendaraan, ia laksana makanan bagi setiap makhluq yang bernyawa, ia adalah imam bagi ma`mumnya, ia bagaikan bapak bagi ibu dan anaknya, ia adalah presiden bagi bangsa dan negaranya, gubernur bagi wilayahnya, bupati bagi daerahnya, wali kota bagi kotanya, ia pula laksana direktur disebuah perusahaan ataupun lembaga, ialah satu-satunya diantara sekian banyak orang yang ada dalam struktur organisasi tertentu yang akan menjadikan organisasi itu maju atau justru sebaliknya, ia urat nadi kehidupan, mesin motor yang menggerakkan, dialah yang oleh Ibnu Malik dikonsepsikan sebagai Mubtada` dalam maha karyanya, Alfiyah Ibn Malik
Mubtada` menurut ibn Malik dalamnadzam Alfiyah ialah seorang pemuka sebuah organisasi dengan kecakapan dan keterampilan memimpin melebihi yang lain (zaidun),penuh kasih dan sayang, bersifat pema`af (`adzir)terhadap bawahannya(khabar) dan berkarakter jiwa mulia dalam menjabat sebagai pimpinan disetiap badan yang terorganisir, sebagaimana ditegaskan dalam bait nadzam Alfiyah yang menerangkan kriteria mubtada-khabar (Mubtada`un zaidun wa`adzirun khabar – in qulta zaidun `adirun mani`tadar), artinya, bahwa standard ideal seorang pemimpin haruslah berjiwa pema`af(`adirun mani`tadzar), tetapi tidak untuk semua hal yang melanggar aturan tetap dalam organisasi harus dima`afkan dengan serta-merta karena dalih berjiwa pema`af, seperti contoh pelanggaran terhadap AD/ART, aturan atau ketetapan lain yang berkekutan hukum hampir sepadan dengannya yang dalam gramatikal arab semua itu dikenal dengan sebutan kaidah-kaidah lazimah, seperti mubtada` harus dibaca rafa`,  fi`il madi maftuhul akhir abadan illa idza kana muttashilan bi ta`iddomir almutaharrik, ila ghairi dzalik…
Hal-hal yang demikian itu harus diadakan pengkajian lebih mendalam lagi melalui tahapan prosedural yang jelas, jika tidak, maka keganjilan demi keganjilan yang akan terjadi kemudian, itulah yang kita sebutnadir, langka, jarang terjadi atau bahkan syad, keluar dari frem yang telah menjadi garis keniscayaannya.
Kendati seorang pemimpin dituntut berjiwa lembut, pengasih dan penyayang yang oleh Ibn Malik disederhanakan bahasanya dalam kemasan sifat kemanusiaan yaitu `adzir (pema`af), namun aturan yang telah disepakati dalam sebuah organisasi harus pula diikuti oleh setiap komponen yang ada di dalamnya, maka, jika ada pelanggaran terhadap AD/ART sebuah organisasi (kaidah-kaidah lazim dalam gramatika Arab) di setiap tingkatan keorganisasian, mulai dari tingkat desa, kota, daerah, wilayah atau bahkan dalam skala yang lebih besar, yaitu negara sekalipun.
Jika terjadi penyalahgunaan wewenang oleh para pejabat misalnya, penyelewengan kekuasaan atasnama instansi tertentu, inkonsistensi dalam berorganisasi, ambivelen, dan sifat inkonstitusional lainnya yang menjadikan buramnya visi misi sebuah organisasi, maka menegakkan aturan hukum yang berlaku untuk hal itu harus segera diterapkan dan dilaksanakan sebagai tahapan sanksi dalam organisasi, sementara idealisasi seorang pemimpin yang dituntut berjiwa pema`af  harus diproporsikan maknanya sesuai dengan tingkat kekuasaannya serta seberapa besar pelanggaran yang dilakukan oleh bawahannya, dari sisi inilah, kiranya perbedaan cara pemimpin dalam mema`afkan kesalahan bawahannya
Wal Hal, pemimpin (mubtada) ideal adalah manusia yang berakal sempurna (al ism al marfu`) dan menjadikan akalnya sesuai fungsi dasar dari akal tersebut (al `ari `anil awamilil lafdziyah). Hal itu bisa didapat jika orang yang menjadi pemimpin (mubtada) tersebut memiliki kecakapan lebih dalam banyak disiplin ilmu pengetahuan, berhati ikhlas serta berjiwa pema`af, untuk tidak mengucapkan bersifat arrahman-arrahim, karena sifat itu lazim dinisbatkan kepada Allah azza wajalla.
Dalam konteks berhati ikhlas serta berjiwa pema`af (`adzir mani`tadzar), Ibn Malik memilih menjadikan hal itu sebagai kriteria yang sangat penting dan paling asasi dalam karakter pemimpin ideal, mengingat sifat manusia yang sedang menjadi penguasa (pemimpin) sering kali lupa akan sifat dasar kemanusiaannya, ia seakan manusia tanpa lupa, alpa dan dosa. Bertaming kekuasaannya, ia bisa saja menjadikan orang lain yang sedang berada di bawah kuasanya, sebagai manusia yang tidak berdaya bahkan menjadikan lebih tidakberdaya lagi, sifat itu, justru sering muncul dari perasaan seorang manusia yang sedang menjadi pemimpin (mubtada) yang tidak berkenan mema`afkan kesalahan orang lain, dalam istilah kepemimpinan lebih dikenal dengan term diktator (istibdadi).
Pemimpin (mubtada) dengan model diktator tersebut, tidak segan-segan hanya mencukupkan dirinya sendiri secara pribadi dan tidak memasang khabar sebagai wakil tetap dalam upaya kelengkapan dan kesempurnaan semua kerja organisasinya, justru ia lebih percaya kepada pihak lain (fa`il, mitra kerja) untuk menggantikan posisi khabar yang semestinya, kehadiran fa`il dipasang sebagai mitra kerja pengganti khabar, dalam term gramatikal arab disebut  fa`il sadda masaddal khabar yang merupakan bagian kedua dari pembagianmubtada (pemimpin), seperti dipertegas dalam Syarah Alfiyah ibn Malik karya ibn Aqil, menurutnya, mubtada dapat dibagi menjadi dua bagian,pertama mubtada (pemimpin) yang memiliki khabar (wakil) dan keduamubtada (pemimpin)yang memposisikan fa`il sebagai sadda masaddal khabar (mitra kerja)
Khulasatul kalam. Dalam Alfiyahnya Ibn Malik, bab al mubtada wal khabar,beliau menyiratkan arti kandungan sya`irnya, bahwa karakter pemimpin ideal adalah manusia yang berjiwa agung, memiliki kompetensi dan disiplin ilmu pengetahuan yang luas (Zaidun), berjiwa mulia dan berkenan mema`afkan kesalahan pihak lain yang bersifat haqqul adami (`Adzir mani`tadzar).
Teori kepemimpinan dengan jiwa pema`af (`adzir) ini, selaras dan sejalan dengan apa yang digambarkan oleh Abdurrahman Addiba`idalam madahnya menyikapi gaya kepemimpinan  Nabi Muhammmad Saw.
Addiba`i mengungkapkannya dalam gubahan bahasa indah penuh mutiara arti “in udziya ya`fu wala yu`aqib”,  Jika beliau(Nabi Muhammad Saw.) disakiti, beliau berkenan mema`afkan dan tidak membalasnya.
Tipe seorang pemimpin seperti beliau Nabi Muhamad Saw. Itulah yang tergambar dalam nadzam ibn Malik, karena dengan kemurahan jiwanya yang mulia dan dengan bahasanya yang indah, santun dalam mema`afkan kesalahan ummatnya, beliau dianalogikan laksana air di tengah gersangnya padang pasir, bak angin semilir yang mendinginkan keringat panas mengalir, kehadirannya di muka bumi seperti awan yang melindungi panasnya terik mentari, bahkan beliau disebut Assyafi` sang Nabi yang memberikan pertolongan kepada ummat manusia di dunia dan di akhirat nanti, ketika para nabi tidak mampu melindungi ummatnya dari kebingungan yang melanda seluruh manusia di alam mahsyar
Suasana alam mahsyar yang dalam bahasa al Qur`an disebut sebagai“yauma la yanfa`u malun wala banun, illa man atallaha biqalbin salim”.Itulah yang menegaskan posisi kepemimpinan Nabi Muhammad Saw. berbeda dengan para nabi lainnya, beliau laksana terangnya cahaya yang memancarkan sinar kecintaannya kepada setiap manusia, beliaulah panutan ummat sepanjang masa, pemimpin agung sehidup semati, the great leader in world, pahlawan yang gagah berani, dialah Nabi Muhammad Saw. Bahkan ketika beliau bersujud dihadapan Allah sang pemilik raja diraja untuk kepentingan ummat manusia, dengan mudahnya Allah mengabulkan permohonannya, sebagaimana disebutkan dalam riwayat hadits, Ya Muhammad, Irfa` ra`sak wasal tu`tha, wasyfa` tusyaffa`, wahai Muhammad, angkatlah kepalamu, mintalah engkau, niscaya akan kuberikan, dan berilah syafa`at, niscaya akan kuberi syafa`at pertolongan
Sungguh namamu akan selalu indah dan dikenang dalam hati nurani setiap manusia, sikap dan tindakanmu adalah hujjah abadi bagi setiap pemimpin sejati, Allahumma shalli ala sayyidina Muhammad wa ala alihi wa shahbihi wasallim, semoga kita menjadi ummat Muhammad yang setia mengikuti jejak langkah kebenarannya, Rabbana atina fiddunya hasanah, wa fil akhirati hasanah wa qina adzabannar, Amin. *** (Iqbal1)
(Sumber : Umamelsamfani, Alumnus Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur / Mahasiswa Al Ahqaff  University Hadramaut Yaman).

Ilmu Shorof : Kitab Amtsilatu Tashrifiyyah

November 9, 2010
Al-Amtsilah At-Tashrifiyyah (Karya KH. M. Ma’shum bin Ali)
Kitab inimenerangkan ilmu sharaf.Susunannya sistematis, sehingga mudah difaham dan dihafal bagi para pelajar. Hampir di seluruh lembaga pendidikan Islam baik di Indonesia atau pun negara luar, kitab ini menjadi salah satu bidang study yang tetap dikaji. Saking masyhurnya, kitab ini mempunyai julukan “Tasrifan Jombang”.
Keagungan kitab ini tak hanya terletak pada ilmu sharaf. Bila diteliti ternyata memuat makna filosofi tinggi.
Pada contoh fi’il tsulasi mujarrad misalnya, keenam kalimat tersebut memiliki filososfi bahwa “pada awalnya sang santri ditolong oleh orang tuanya (nashara), sesampainya di pesantren ia dipukul/dididik (dlaraba). Kemudian setelah tersakiti, hatinya akan terbuka (fataha). Barulah ia akan pintar (‘alima) dan menuntutnya agar berbuat baik (hasuna). Ia berharap masuk surga di sisi Allah (hasiba).
Kitab yang terdiri dari 60 halaman ini, telah diterbitkan oleh banyak penerbit. Jadi kita tidak akan kesulitan mendapatkannya. Pada halaman pertama tertera sambutan berbahasa arab dari mentri Agama RI (Waktu Itu) , KH. Saifuddin Zuhri, dan di terbitan baru ada pengantar dari Nyai Hj. Abidah Ma’shum, Kwaron.*** (Iqbal1)

Catatan : Fi’il Ta’ajjub

Oktober 28, 2010

التَّعَجُّبُ

بِأَفْعَلَ انْطِقْ بَعْدَ مَا تَعَجُّبَا  #  أَو جِىء بِأَفْعِلَ مَجْرُورٍ بِبَا

وَتِلوَ أَفْعَلَ انْصِبَنَّهُ كَمَا  #  أَوفَى خَلِيْلَيْنَا وَأَصْدِقْ بِهِمَا

وَحَذْفَ مَا مِنْهُ تَعَجَّبْتَ ا سْتَبحْ  #  إِنْ كَانَ عِنْدَ الحَذْفِ مَعْنَاهُ يَضِحْ

 وَفِي كِلاَ الفِعْلَيْنِ قِدْمَاً لَزِمَا  #  مَنْعُ تَصَرُّفٍ بِحُكْم حُتِمَا

وَصُغْهُمَا مِنْ ذِي ثَلاَثٍ صُرِّفَا  # ً قَابِلِ فَضْلِ تَمَّ غَيْرِ ذِي انْتِفَا

وَغَيْرِ ذِي وَصْفٍ يُضَاهِي أَشْهَلا  # َ وَغَيْرِ سَالِكٍ سَبِيْلَ فُعِلاَ

 وَأَشْدِدَ أو أَشَدَّ أَو شِبْهُهُمَا  #  يَخْلُفُ مَا بَعْضَ الشُّرُوطِ عَدِ مَا

وَمَصْدَرُ العَادِمِ بَعْدُ يَنْتَصِبْ #  وَبَعْدَ أَفْعِل جَرُّهُ بِالبَا يَجِبْ

 وَبِالنُّدُورِ احْكُمْ لِغَيْرِ مَا ذُكِرْ  #  وَلاَ تَقِسْ عَلَى الَّذِي مِنْهُ أُثِرْ

وَفِعْلُ هَذَا البَابِ لَنْ يُقَدَّمَا  #  مَعْمُولُهُ وَوَصْلَهُ بِهِ الزَمَا

وَفَصْلُهُ بِظَرْفٍ أو بِحَرْفِ جَرّ #  مُسْتَعْمَلٌ وَالخُلفُ فِي ذَاكَ اسْتَقَرْ

 - الفية ابن مالك -

Keterangannya :
Kyai Musonif akan menerangkan Bab Ta’ajjub. Apa sebabnya bab ta’ajjub (Di Kitab) disampaikan setelah bab sifat musyabbahah. Karena antara sifat musyabbahah dengan ta’aajub terdapat wajah kebersamaan (musyarokah).
Adapun yang terdahulu membuat shegat ta’ajjub adalah putera perempuannya Imam Abu Aswad Addualie, yaitu pernah mengatakan begini : “Maa Asyaddul harri ?”. Terus kalimah itu dibetulkan oleh ayahandanya sebab tarkibannya salah. Adapun yang benarnya adalah begini : ”Maa Asyaddal harro”, artinya : “Amat sangat panasnya”, dan (mengingat) ta’rifnya ta’ajjub itu yaitu : “Idrooku umuurin ghooribatin khoofiyatis-sabab”. Artinya : “Menemukan perkara yang aneh dengan tidak hafal sebabnya”.
Syarat ta’ajjub itu ada tiga : 1. Harus menyandar (sanding) antara Maa Ta’ajjub dengan Fi’il Ta’ajjub. 2. Fi’ilnya harus bangsa Tsulatsie. 3. Asal pokok Mu’ta’ajjub Minhu-nya wajib ma’rifat, ilatnya lietahsielil faa idah.
Rukun ta’ajjub itu ada tiga : 1. Maa ta’ajjubiyah. 2. Fi’il ta’ajjub. 3. Muta’ajjub minhu (ma’mul ta’ajjub).
Pembagian ta’ajjub itu ada dua : 1. Ta’ajjub Dzatie, yaitu bilamana ta’ajjub diatur dengan wazan “Maa Af’ala” dan “Af’il Bihi”. 2. Ta’ajjub ‘Arodhie, yaitu ta’ajjub yang keluar dari wazan “Fa’ila” dipindahkan ke wazan “Fa’ula” seperti “Qodhuwar rojulu”, dan yang keluar dari jumlah ismiyah seperti “Wallohu dhorruhu faa risan”.
Kesimpulan tiap2 Bait : 
Ta’ajjub adalah berarti juga ; “Memperbesar kelebihan pada sifat fa’il yang penyebabnya masih samar”.  Ini sebaik2nya ta’rif seperti pendapat Ibnu Ushfur ; “Huwas-ti’dhoomu ziyaadatin fie wasfil-faa’ili khofiya sababuhaa”. (Ibnu Hamdun : 1 ; 232)
Kesimpulan Kaidah Ta’ajub di bait 1 di atas :

بِأَفْعَلَ انْطِقْ بَعْدَ مَا تَعَجُّبَا  #  أَو جِىء بِأَفْعِلَ مَجْرُورٍ بِبَا

“Dengan yg turut akan wazan af’ala, harus mengucapkan kamu (halnya tetap) setelah maa ta’ajjub ; Atau mendatangkan kamu kepada mauzuun yg turut akan wazan af’il, halnya tetap sebelum isim yang dijarkan oleh ba ziyadah”.
Bentuk pertama : Bilamana akan menjadikan fi’il ta’ajjub, samakan saja kepada wazan “af’ala”, diamkan setelah lafadh “maa”.
Contoh : “Maa ahsana zaidan” (Alangkah baiknya Si Zaed). – “Maa afdholahuu wa maa a’lamahuu” (Alangkah utamanya dia dan alangkah alimnya dia).
“Maa” adalah mubtada (ini kata khusus permulaan kata fi’il ta’ajjub) bermakna sesuatu, dan “af’ala” adalah fi’il madhi (kata kerja lampau bangsa tsulatsie -majied- / berasal dari tiga huruf yg menerima tambahan), sedangkan fa’ilnya (subjeknya) adalah dhamir (kt ganti) yg tersembunyi wajib disembunyikan, yg kembali kepada “maa” ; dan isim yg dinashabkan ialah “muta’ajjub minhu” (pengikut amal), berkedudukan sebagai “maf’ul beh” (objek penderita), sedangkan jumlah semuanya merupakan khabar dari “maa”.
Bentuk kedua : Atau samakan saja kepada wazan “af’il”, diamkan setelah kalimat yang dijarkan oleh “ba-ziyadah”. Seperti “Ahsin bi zaedin ” (Alangkah baiknya si zaid) – “Akrim bihi” (Alangkah mulianya dia).
Lafadh “af’il” adalah fi’il yg lafadhnya berbentuk amar tetapi maknanya adalah ta’ajjub (bukan perintah), dan di dalamnya tidak mengandung dhamir. Sedangkan “bi zaedin” adalah fa’ilnya.
Bentuk asal kalimah “Ahsin bi zaedin” (Alangkah baiknya Si Zaed) ialah “Ahsana Zaedun” (Si Zaed menjadi orang yg baik) ; perihalnya sama dengan “Auroqosy-syajaru” (Pohon itu telah berdaun), kemudian bentuknya diubah menjadi bentuk amar, maka dianggap tidak baik bila secara langsung disandarkan kepada isim dhohir, untuk itulah maka ditambahkan huruf “ba” pada fa’ilnya. (Wallohu ‘alam)
Kesimpulan Kaidah Ta’ajub di bait 2 di atas :

وَتِلوَ أَفْعَلَ انْصِبَنَّهُ كَمَا  #  أَوفَى خَلِيْلَيْنَا وَأَصْدِقْ بِهِمَا

“Dan harus menashabkan kamu atas isim yang sanding kepada lafadh af’ala. Tegasnya harus menashabkan kamu atas isim yang sanding kepada lafadh af’ala seperti Maa aufaa kholielaenaa wa ashdiq bihima (Seperti perkara yang memenuhi dua sahabat/kekasih kami, serta  kaget benar keduanya)”. 
Kalimah yang menyandar/sanding kepada fi’il ta’ajjub wazan “maa af’ala” maka harus dinashabkan. Contoh seperti “Maa ahsana zaidan”, Ilat sebabnya harus nashab ; “li anna ma’muulat-ta’ajjubi bi shurotil-fadhlati. Wa haqqul-fadhlati an yakuuna manshuuban” (karena sesungguhnya “ma’mul maa fi’il ta’ajjub” itu seperti tambahan/fadlah. Adapun hak-nya fadhlah terbuktinya dinashabkan).
Adapun kalimah yang menyandar kepada fi’il ta’ajjub wazan “af’il”, maka kalimat itu jar-kan oleh “haraf jar zaidah laazimiyyah”. Contoh seperti lafadh “Ahsin bi zaedaeni” dan seperti lafadh “Wa ashdiq bihimaa”.
Kesimpulan Kaidah Ta’ajub di bait 3 di atas :

وَحَذْفَ مَا مِنْهُ تَعَجَّبْتَ ا سْتَبحْ  #  إِنْ كَانَ عِنْدَ الحَذْفِ مَعْنَاهُ يَضِحْ

Adapun perkara fi’il ta’ajjub, maka fi’il itu apabila ada dalil boleh dibuangnya, tetapkan (anggerkeun) fi’il ta’ajjubnya. Contoh seperti lafadh dalam sya’iran :
“Aroo umma amrin dam’uhaa qod tahadaroo ; Bukaa-an ‘ala amrin wa maa kaana ashbaroo”. “Wataqdieru maa kanaa ashbaroha“.  (Menyaksikan saya akan ibunya Ki Amar air matanya betul2 telah berlinang ; oleh sebab menangisi Ki Amar dan semoga menjadi sabar ibunya Ki Amar).
“Haa” disitu (maa kanaa ashbaroha) adalah maf’ul lafadh ashbaro, dibuang karena menunjukkan kepada lafadh sebelumnya (“lidalaalati maa qoblahu alaih / alaih bima taqoddama”).
Contoh yg kedua seperti firman Alloh SWT ; “Asmi’ bihim wa abshir (wallohu ‘alam). Attaqdieru wa abshir bihim. “Bihim” dibuang setelah wa abshir”.  
Kesimpulan Kaidah Ta’ajub di bait 4 di atas :

وَفِي كِلاَ الفِعْلَيْنِ قِدْمَاً لَزِمَا  #  مَنْعُ تَصَرُّفٍ بِحُكْم حُتِمَا

Adapun perkara fi’il ta’ajjub, baik wazan af’ala ataupun wazan af’il, maka fi’il itu dicegah dua-duanya dari di-tashrif, meskipun mulanya menerima di-tashrif. Tegasnya tidak pernah digunakan wazan af’ala selain fi’il madhinya, dan tidak pernah digunakan wazan af’il selain fi’il amarnya.
Kesimpulan Kaidah Ta’ajub di bait 5 / 6 di atas :

 وَصُغْهُمَا مِنْ ذِي ثَلاَثٍ صُرِّفَا  # ً قَابِلِ فَضْلِ تَمَّ غَيْرِ ذِي انْتِفَا

وَغَيْرِ ذِي وَصْفٍ يُضَاهِي أَشْهَلا  # َ وَغَيْرِ سَالِكٍ سَبِيْلَ فُعِلاَ

Apabila hendak mencetak fi’il ta’ajjub, maka fi’il itu harus menyamakan kepada persyaratan yang tujuh, yg diterangkan dalam dua bait ini :
1. Harus fi’il bangsa tsulatsie. 2. Harus menerima di-tashrif. 3. Harus ada makna fi’il itu yang menerima pada saling melebihkan. 4. Fi’ilnya harus fi’il tam (tdk goer qiyas). 5. Fi’ilnya jangan manfi (negatif). 6. Dan tdk boleh fi’il yg mempunyai shegat sama kepada wazan af’ala. 7. Dan fi’ilnya tdk boleh yg majhul (pasif).
Contoh fi’il ta’ajjub yg memenuhi persyaratan seperti ini ; “Maa ahsana zaedun” dan seperti “Wa ashdiq bihi”.
Kesimpulan Kaidah Ta’ajub di bait 7 / 8 di atas :

وَأَشْدِدَ أو أَشَدَّ أَو شِبْهُهُمَا # يَخْلُفُ مَا بَعْضَ الشُّرُوطِ عَدِ مَا

وَمَصْدَرُ العَادِمِ بَعْدُ يَنْتَصِبْ # وَبَعْدَ أَفْعِل جَرُّهُ بِالبَا يَجِبْ

Bilamana terdapat fi’il kosong dari sebagian syarat, maka fi’il itu apabila dijadikan fi’il ta’ajjub gantikan saja oleh lafadh “Asydid” atau oleh lafadh “Asyadda”, atau “Syibahahnya”, tegasnya “Aktsaro” dan “Aktsir Bihi”. Kemudian ambil masdharnya fi’il yg kosong dari setengahnya syarat itu, simpan setelah lafadh “Asyadda”, bacanya harus “Dinashabkan”. Contoh seperti lafadh “Maa asyadda dakhrojatahu”, atau seperti lafadh “Maa asyadda istikhroojahu”.
Atau simpan setelah lafadh “Asydid” beserta wajib dijarkan oleh “Ba zaidah” masdar itu. Contoh seperti lafadh “Asydid bi dakhrojatihi”, atau seperti lafadh “Asydid bi istikhroojatihi” (Ini ruba’i).
Kesimpulan Kaidah Ta’ajub di bait 9 di atas :

وَبِالنُّدُورِ احْكُمْ لِغَيْرِ مَا ذُكِرْ # وَلاَ تَقِسْ عَلَى الَّذِي مِنْهُ أُثِرْ

Bilamana ada fi’il kosong dari sebagian syarat, tetapi tetap dijadikan fi’il ta’ajjub, tapi tidak digantikan oleh lafadh “Asyadda”, tidak digantikan oleh lafadh “Asydid”, dan tidak digantikan oleh lafadh “Syibahahnya”, maka fi’il itu hukumnya “Langka”, tegasnya “Samaa’i”, jangan diqiyaskan. Contoh seperti lafadh “Maa ahshorohu”, dan seperti “Maa uhmiqoohu”, tegasnya di-mabni-majhulkan (Dipasifkan), dan seperti “Maa a’ssahu” dan seperti “a’si bihi”.
Kesimpulan Kaidah Ta’ajub di bait 10 di atas :

وَفِعْلُ هَذَا البَابِ لَنْ يُقَدَّمَا # مَعْمُولُهُ وَوَصْلَهُ بِهِ الزَمَا

Adapun perkara ma’mul fi’il ta’ajjub, maka fi’il itu tidak boleh didahulukan, diakhirkan fi’il ta’ajjubnya. Contoh seperti lafadh “Maa ahsana zaedun”, tdk boleh dibaca “Zaedun maa ahsana”, dan seperti lafadh “Ahsin bi zaedin”, tdk boleh dibaca “Bi zaedin Ahsin”. Ilatnya ; “Liannaha min adawaatil ibtida-i”.
Kesimpulan Kaidah Ta’ajub di bait 11 di atas :

وَفَصْلُهُ بِظَرْفٍ أو بِحَرْفِ جَرّ # مُسْتَعْمَلٌ وَالخُلفُ فِي ذَاكَ اسْتَقَرْ

Adapun perkara antara fi’il ta’ajjub dengan ma’mulnya dipisah oleh “Huruf Jar”, atau “Dhorof” (keterangan waktu atau tempat), maka fi’il itu hukumnya rebutan kaol. Menurut sebagian kaol “Jamaatu Nahwiyyin” serta Imam Ajjurumie, boleh dipisah dengan “dhorof” atau “jar-majrur”. Menurut sebagian lagi tidak boleh, yaitu menurut Imam Akhfasy dan Imam Mubarrod.
Contoh yang boleh seperti lafadh “Maa ahsana fie haejaa’i liqoo ahaa” (Aduh alangkah bagusnya pada waktu susah menemui kekasih”) , dan seperti lafadh “Akrim fid-darbaati ‘athoo-a-haa” (Aduh alangkah mulyanya pada waktu susah memberinya tanda mata”. Adapun ilatnya kenapa boleh dipisah dengan “Dharaf” dan “Jar-majrur”, karena ; “Liannadh-dhorfa wal jarro la yu’taddu bihimaa faa shilan”. (Karena sesungguhnya dhorof dan jar-majrur tidak dihitung sebagai yang memisahkan).  Wallohu ‘alam*** (Iqbal1)
Referensi :
  1. Hasyiyah Al-’alamah Ibnu Hamduun ‘Ala Syarah Al-Makuudie Lil Al-fiyah Ibnu Maalik : (232-236).
  2. Syarah Ibnu ‘Aqiel ‘Ala Al-fiyah Ibnu Maalik : (120-122)
  3. Mutamimmah Ajjuruumiyyah : (A ; 36, B ; 388-389)
  4. Tashielul Masaalik Fie Tarjamah Alfiyah Ibnu Maalik : (329-334)
  5. Al-Amtsilatu At-Tashrifiyyah : (2-65)
  6. Http://nahwusharaf.wordpress.com

Alfiyah Bait 15 : Isim Mu’rob dan Isim Mabni

Oktober 15, 2010

الْمُعْرَبُ وَالْمَبْنِي

وَالاسْمُ مِنْهُ مُعْرَبٌ وَمَبْنِي ¤ لِشَبَـــهٍ مِنَ الْحُــرُوْفِ مُدْنِي

Diantaranya Kalimat Isim ada yang Mu’rab, dan ada juga yang Mabni karena keserupaan dengan kalimah Huruf secara mendekati. 
Bait ini menerangkan bahwa kalimah isim terbagi menjadi :
Isim Mu’rob : yaitu Isim yang selamat dari keserupaan dengan Kalimat Huruf.
Isim Mabni : yaitu Isim yang dekatnya keserupaan dengan Kalimat Huruf.
Menurut pendapat Kyai Mushannif bahwa yang menjadi illat kemabnian Kalimat Isim dirumuskan menjadi “Serupa Kalimat Huruf” yang akan dijelaskan bagian-bagiannya pada dua bait berikutnya. Rumusan Mushannif ini sejalan dengan pendapat Mazhab Nahwu lain seperti Imam Abu Ali al-Farisi, juga Imam Sibawaih, bahwa Illat kemabnian kalimat Isim semuanya dikembalikan kepada “Serupa kalimat Huruf”. *** (Ibnu Toha)
Ref.  Al-majmuah Alfiyah Ibnu Malik ; Tas-hilul Masalik Fi Tarjamah Alfiyah Ibnu Malik.

Ilmu Shorof : Pembagian Fi’il

Oktober 7, 2010
Setelah sebelumnya mendefinisikan kata Tashrif menurut Bahasa dan Istilah. Dilanjutkan mengenai Fi’il dan Pembagian Fi’il. Fi’il (kata kerja) adalah kalimat (Bahasa Indonesia: kata) yang memiliki arti pada dirinya sendiri dan berhubungan dengan waktu, yaitu waktu Maadhi (lampau) Haal (sekarang) dan Istiqbaal (akan datang).
Kailani, 2 :

ثُمَّ الْفِعْلُ اِمَّا ثُلاَثِيٌّ وَاِمَّا رُباَعِيٌّ وَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا اِمَّا مُجَرَّدٌ أَوْ مَزِيْدٌ فِيْهِ وَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهَا إِمَّا سَالِمٌ أَوْ غَيْرُ سَالِمٍ

Kemudian Fi’il itu, satu sisi: ada yang berbangsa tiga huruf (Tsulatsiy), dan pada sisi yang lain: ada yang berbangsa empat huruf (Ruba’iy). Dan masing-masing dari kedua bangsa itu, adakalanya Mujarrad atau adakalanya Mazid. Dan tiap-tiap satu dari semuanya, baik ada yang Salim atau ada yang Ghair Salim.
Kailani, Pembagian Fi'il
Keterangan :
(1). Fi’il Tsulatsiy, yaitu Fi’il yang asal huruf-hurufnya adalah tiga. sepertiضَرَبَ dho-ro-ba,artimemukul.
(2). Fi’il Ruba’iy, yaitu Fi’il yang asal huruf-hurufnya adalah empat. sepertiدَحْرَجَ da-kh-ra-ja, arti: menggelincirkan.
Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa semua Asal huruf-huruf Fi’il itu terfokus hanya kepada dua pembagian Fi’il tsb yaitu Tsulatsiydan Ruba’iy. Sebagai patokan bahwa tidak ada asal huruf Fi’il itu kurang dari tiga, atau lebih dari empat. Ketetapan ini sudah diakui merupakan pengkajian dari kalam Arab.
» Dan masing-masing dari kedua bangsa itu, adakalanya Mujarrad atau adakalanya Mazid.
(1). Mujarrad, artinya sepi dari tambahan pada asal huruf-hurufnya.
(2). Mazid, artinya ada penambahan pada asal huruf-hurufnya, baik tambahan satu huruf atau lebih, seperti: أَضْرَبَ a-dh-ra-ba arti: mendiami. dan تَدَحْرَجَ ta-da-kh-ra-ja arti: tergelincir.
 » Dan tiap-tiap satu dari semuanya, baik ada yang Salim atau ada yang Ghair Salim.
(1). Salim, artinya selamat pada Asal huruf-hurufnya daripada terdiri dari huruf Illat, Hamzah, dan Tadh’if .
Contoh :
 ضَرَبَ – دَحْرَجَ
(2). Ghair Salim, artinya tidak selamat pada asal huruf-hurufnya daripada terdiri dari huruf Illat, Hamzah, dan Tadh’if .
Contoh :
 وَعَدَ – زَلْزَلَ 
(Ibnu Toha)

Ilmu Shorof : Definisi Tashrif

Oktober 4, 2010
Sharaf atau dibaca Shorof adalah salah satu nama cabang Ilmu dalam pelajaran Bahasa Arab yang khusus membahas tentang perubahan bentuk kata (Bahasa Arab : kalimat). Perubahan bentuk kata ini dalam prakteknya disebut Tashrif.  Oleh karena itu dinamakan Ilmu Sharaf (perubahan ; berubah), karena Ilmu ini khusus mengenai pembahasan Tashrif (pengubahan; mengubah).
Kailani, 1 :

اِعْلَمْ، اَََنَّ التَّصْرِيْفَ فِي اللُّغَةِ: التَّغْيِيْرُ، وَفِي الصَّنَاعَةِ: تَحْوِيْلُ اْلأَصْلِ الْوَاحِدِ إِلَى أَمْثِلَةٍ مُخْتَلِفَةٍ لِمَعَانٍ مَقْصُوْدَةٍ لاَ تَحْصُلُ اِلاَّ بِهَا.

Ketahuilah, bahwasanya yg dinamakan Tashrif menurut Bahasaadalah : pengubahan. Sedangakan menurut Istilah adalah: pengkonversian asal (bentuk) yang satu kepada contoh-contoh (bentuk) yang berbeda-beda, untuk (tujuan menghasilkan) makna-makna yang dimaksud, (yg mana) tidak akan berhasil tujuan makna tersebut kecuali dengan contoh-contoh bentuk yang berbeda-beda itu.
Keterangan :
Asal bentuk kalimat adalah Masdar, ini menurut pendapat Ulama Bashrah. Pendapat ini lebih banyak mendapat dukungan. Sedangkan menurut Ulama Kufah, asal bentuk kalimat adalah Fi’il Madhi.
Asal bentuk adalah Masdar, dikonversikan ke sampel-sampel yang lain misalnya : Fi’il Madhi, Fi’il Mudhari’, Fi’il Amar, Fi’il Nahi, Isim Fa’il, Isim Maf’ul, Isim Zaman, Isim Makan, Isim Alat, Isim Murrah, Isim Hai’ah, Isim Nau’, Isim Tafdhil, Shighat Mubalaghah dan lain-lain. Perubahan ke sampel-sampel tersebut, tujuannya untuk menghasilkan makna yang diinginkan, tanpa mengubah ke sampel-sampel  tersebut maka kita tidak akan berhasil mencapai kepada makna yang kita inginkan.
Contoh:
Asal kalimat adalah Masdar : ضَرْبٌ dibaca : Dhorbun,bermakna : Pukulan.
Dirubah ke sampel Fi’il Madhi menjadi : ضَرَب dibaca :  Dhoroba, bermakna: Telah memukul.
Dirubah ke sampel Fi’il Mudhari’ menjadi : يَضْرِبُ dibaca:  Yadhribu bermakna : Akan memukul.
Dirubah ke sampel Fi’il Amar menjadi :  اِضْرِبْ dibaca : Idhribbermakna :  Pukullah! Dan sebagainya.
Contoh tersebut di atas dikatakan Tashrif, yaitu pengubahan asal bentuk yang satu kepada sampel-sampel bentuk yang lain untuk menghasilkan makna yang dimaksud.  Demikian pembahasan Definisi Tashrif menurut Bahasa dan Istilah. *** (Ibnu Toha).
Ref. – Klik PDF Kitab Kaelani : kailani[1]

Insert : Posisi Bahasa Arab

September 28, 2010
Segala puji bagi Allah, Shalawat dan Salam Tercurah limpahkan kepada Rasulullah saw.
Belajar Bahasa Arab merupakan Fardhu Kifayah, karena merupakan jalan untuk bisa memahami AL-QUR’AN dan ASSUNNAH, jika satu orang saja sekampung belajar Bahasa Arab, maka penduduk sekampung tidak akan berdosa. Ini kalau sekiranya disandarkan kepada penduduk kampung. Tapi kalau disandarkan kepada tiap individu Muslim, wajiblah belajar Bahasa Arab yang mana dalam amalan-amalan Fardlu seperti bacaan dalam Shalat, tidaklah shah tanpa Bahasa Arab. Imam Syafi’i berkata : wajib pada tiap-tiap Muslim untuk belajar Bahasa Arab kalau ingin sampai kepada kesungguhannya dalam melaksanakan kefardhuannya. Jika bukan karena mengamalkan Fardhu, maka belajar Bahasa Arab hukumnya sunnah, selain yang ingin mengetahui seluk beluk Syari’at Islam, karena wajib bagi para Alim Syari’at belajar Bahasa Arab untuk memahami tentang Syari’at Qur’ani atau Syari’at Haditsi.
Alllah berfirman :
[12:2] Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.
[26:195] dengan bahasa Arab yang jelas.
[16:103. Dan sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata : "Sesungguhnya Al Quran itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad)." Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya bahasa 'Ajam, sedang Al Quran adalah dalam bahasa Arab yang terang.
Bahasa ‘Ajam ialah bahasa selain bahasa Arab dan dapat juga berarti bahasa Arab yang tidak baik, karena orang yang dituduh mengajar Muhammad itu bukan orang Arab dan hanya tahu sedikit-sedikit bahasa Arab.
Dan masih banyak dalil ayat-ayat yang lain, bahwa AL-QUR’AN Berbahasa Arab dengan lisan Arab, bukan Berbahasa Ajam (selain Bahasa Arab) juga bukan dari lisan Ajam. maka jika ingin memahami al-Qur’an, fahamilah secara lisan Arab. AL-QUR’AN tidak akan bisa difahami tanpa pengetahuan secara lisan Arab.
Para Masyayikh berkata : Tidak boleh tidak, dalam menafsirkan Qur’an dan Hadits, harus mengetahui apa yg menjadi dalil atas apa yg dimaksud dan yg dikehendaki Allah dan Rosulnya dari lafadz-lafadz dan kalimat-kalimat, dan bagaiman cara memahami Firmannya. maka kita dituntut untuk mengetahui Bahsa Arab untuk menjelaskan pengertian dari maksud Firman Allah dan Sabda RasulNya. Begitu juga kita diharuskan mengetahui dalil-dalil secara Lafzhiy atas Ma’aniy. Karena banyak yang salah langkah dalam beragama, dikarenakan kurang fahamnya pada masalah ini. Sehingga mereka membawa-bawa Firman Allah dan Sabda Rasulullah sebagai dalil atas apa yang difatwakannya. Padahal yg dimaskud tidaklah demikian. (**)

Imu Nahwu

Shorof : Al-Muqoobalatu (Fa fi-‘il ; ‘Ain fi’il ; dan Lam fi’il)


Al-muqoobalatu artinya ber-hadap2an atau mencocokkan. Sebagian besar dari fi-’il2 di dalam bahasa arab (Menurut Ilmu Shorof) asalnya tiga huruf. Seperti ma-na-‘a ; ka-ta-ba dll.
Contoh :
Ma-na-‘a dikatakan atas timbangan Fa-‘a-la (kiyas dari wazan Fa-‘a-la).
Jadinya begini ; Fa-‘a-la = Ma-na-‘a.

فَعَلَ = مَنَعَ

Oleh sebab Mim berhadapan atau berbetulan dengan fa dari fa-‘a-la, maka dikatakan Fa fi-‘il. Dan Nun itu oleh sebab berhadapan dengan ‘ain dari fa-‘a-la, maka dikatakan ‘Ain fi-‘il, dan ‘Ain itu lantaran berbetulan dengan lam dari fa-‘a-la, maka dikatakan Lam fi-‘il. Begitulah sekalian fi-‘il yang asalnya tiga huruf, yakni tiap2 fi-‘il yang asalnya tiga huruf itu, huruf yang pertama dikatakan fa fi-‘il, walaupun bukan fa. Dan yang kedua dinamakan ‘ain fi-‘il, walaupun bukan ‘ain. Dan yang ketiga disebut lam fi-‘il, walaupun bukan lam.
Kalau fi-‘il itu bertambah hurufnya seperti yam-na-‘u, yam-na-‘uuna atau im-ta-na-‘a umpamanya, maka huruf yang bertambah itu tidak dihitung, tetapi tetap kita berkata mim itu fa fi-‘il, nun itu ‘ain fi-‘il dan ‘ain itu lam fi-‘il. Selain dari itu dinamakan zaidah, yakni huruf tambahan.
Dan terkadang fi-‘il itu asalnya empat huruf seperti da-h-ro-ja atas timbangan fa-’-la-la, maka dal itu dikatakan fa fi‘il, ha itu ‘ain fi’il, serta ro lam fi’il yang pertama, jim itu lam fi’il yang kedua.
Kalau bertambah seperti mu-da-h-ri-jun atau mu-ta-da-h-ri-ja-tun, maka tambahan itu tidak dihitung, yakni tetap dikatakan dal itu fa fi-‘il ; ha itu ‘ain fi-‘il ; ro itu lam fi-‘il pertama dan jim itu lam fi-‘il yang kedua. Selain dari itu dikatakan huruf zaidah (tambahan).
Catatan ini mudah2-an berguna mengingatkan diri penulis sendiri yang lupa, atau belum berkesempatan memahami istilah yang digunakan tatkala melihat perubahan2 kalimah ke bentuk lain menurut wazannya – serta mauzunnya. Secara filosofis hal ini sangat penting ditegaskan untuk menghalangi (ma-na-’a) kelancangan. Tanpa memahami posisi perubahan2 bangunan kalimah dalam bahasa arab, sulit diterima kemampuan seseorang yang coba menulis (ka-ta-ba), mengutarakan pendapat serta pemahamannya dengan terbuka kepada khalayak(tabligh) tentang Al-qur’anul kariem, sunnah nabi, qoul ulama, dll. yang nota bene tersurat dengan Bahasa Arab tersebut. Lebih baik menghalangi kesalahan, daripada keliru menggunakan ro’yu, atau berupaya sungguh-sungguh memahami fan ilmu alat / shorof  dahulu, karena riskan resikonya apabila menyalahi. Dengan contoh kecil beginilah ‘lidah-lidah’ dan tinta para ulama senantiasa basah laksana nan tak pernah kering berbuat (fa-’a-la), menjaga originalitas atau keotentikan kalamulloh dan sunaturrosul. -Wallohu subhaana wa ta’alaa bil ‘alam- *** (Iqbal1).

8. Shorof : Fi’il Tsulatsiy (Mujarrod) Bab kelima

Mei 23, 2011

 وَاِنْ كَانَ مَاضِيْهِ عَلَى وَزْنِ فَعُلَ مَضْمُوْمَ الْعَيْنِ فَمُضَارِعُهُ

 يَفْعُلُ بِضَمِّ اْلعَيْنِ نَحْوُ حَسُنَ يَحْسُنُ وَأَخَوَاتِهِ

Jika fi’il madhinya berwazan

 فَعُلَ

Fa-’U-La, yang didhammahkan ‘ain fi’ilnya, maka fi’il mudhari’nya berwazan

 يَفْعُلُ

Yaf-”U-Lu ; dengan dhammah ‘ain fi’ilnya.
contoh :

 حَسُنَ يَحْسُنُ

Ha-Su-Na ; Yah-Su-Nu, dan saudara-saudaranya.
:) ————————————————-
Ringkasan Fiil Tsulatsi Mujarrod, dari bab 1 s/d 6 :Untuk catatan ilmu shorof ini,  diutarakan tentang fi’il Tsulatsi Mujarrod dan pembagian bab-nya.
Fi’il Tsulatsi Mujarrod adalah fi’il yang terdiri dari hanya tiga huruf asli. Terbagi menjadi enam bab, yaitu ; 
  1. Bab I. Fa’ala Yaf’ulu (فَعَلَ يَفْعُلُ). Bab pertama ini biasanya berlaku “muta’addi” seperti نصر زيد عمرا. Tapi terkadang juga berlaku “lazim” seperti خرج زيد. Muta’addiadalah fi’il yang butuh maf’ul, sedangkan lazimadalah fi’il yang tidak butuh maf’ul.
  2. Bab II. Fa’ala Yaf’ilu (فَعَلَ يَفْعِلُ). Bab yang kedua ini sama dengan bab yang pertama yaitu biasanya berlaku “muta’addi” seperti ضرب زيد عمرا. Dan terkadang juga berlaku “lazim” seperti جلس زيد.
  3. Bab III. Fa’ala Yaf’alu (فَعَلَ يَفْعَلُ). Bab yang ketiga ini juga sama dengan bab yang pertama yaitu biasanya berlaku “muta’addi” seperti فتح زيد الباب. Dan terkadang berlaku “lazim” seperti ذهب زيد. Bedanya pada bab ketiga ini, ain fi’il atau lam fi’il-nya harus berupa huruf Halaq, yaitu حاء, خاء, عين, غين, همزة, هاء
  4. Bab IV. Fa’ila Yaf’alu (فَعِلَ يَفْعَلُ). Bab yang keempat ini sama dengan bab-bab sebelumnya, yaitu biasanya berlaku “muta’addi” seperti علم زيد المسئلة. Dan terkadang juga berlaku “lazim” seperti وجل زيد.
  5. Bab V. Fa’ula Yaf’ulu (فَعُلَ يَفْعُلُ). Bab yang kelima ini berbeda dengan bab-bab sebelumnya, karena ia hanya berlakulazimsaja seperti, حسن زيد
  6. Bab VI. Fa’ila Yaf’ilu (فَعِلَ يَفْعِلُ). Bab yang terakhir, yaitu bab yang keenam biasanya berlaku “muta’addi” seperti حسب زيد عمرا فاضلا. Tapi terkadang juga berlaku “lazim” seperti ورث زيد.  
Ref. : http://www.kangmahfudz.co.cc/2011/05/1-fiil-tsulatsi-mujarrod.html
Waallohu A’lam (Iqbal1).

7. Shorof : Fi’il Tsulatsi (Mujarrod) Bab keempat

Mei 23, 2011

وَإِنْ كَانَ مَاضِيْهِ عَلَى وَزْنِ فَعِلَ مَكْسُوْرَ اْلعَيْنِ فَمُضَارِعُهُ يَفْعَلُ

 بِفَتْحِ اْلعَيْنِ نَحْوُ عَلِمَ يَعْلَمُ إِلاَّ مَا شَذَّ مِنْ نَحْوِ حَسِبَ يَحْسِبُ

 وَأَخَوَاتِهِ.

Jika fi’il madhinya berwazan

 فَعِلَ

Fa-’I-La ; yang di kasrahkan ‘ain fi’ilnya, maka fi’il mudhari’nya berwazan

 يَفْعَلُ

Yaf-’A-Lu dengan fathah ‘ain fi’ilnya.
contoh :

 عَلِمَ يَعْلَمُ

‘A-Li-Ma ; Ya’-La-Mu, kecuali yang syadz dari contoh :

 حَسِبَ يَحْسِبُ

Ha-Si-Ba ; Yah-Sa-Bu, dan saudara-saudaranya.

6. Shorof : Fi’il Tsulatsi (Mujarrod) Bab ketiga

Mei 23, 2011

 وَيَجِيْءُ عَلَى وَزْنِ يَفْعَلُ بِفَتْحِ الْعَيْنِ إِذَا كَانَ عَيْنُ فِعْلِهِ أَوْ لاَمُهُ حَرْفاً

 مِنْ حُرُوْفِ الْحَلْقِ وَهِيَ سِتَّةٌ الهَمْزَةُ وَاْلهاَءُ وَاْلعَيْنُ وَاْلحاَءُ وَاْلغَيْنُ

وَاْلخاَءُ نَحْوُ سَأَلَ يَسْأَلُ وَمَنَعَ يَمْنَعُ وَأَبىَ يَأْبىَ شَاذٌّ.

Fi’il Mudhari (Dari Fi’il Madhi Tsulatsi Mujarrad yg ‘Ain fi’ilnya berharakat Fathah) juga datang dengan wazan

يَفْعَلُ 

(Yaf-’A-Lu) dg Fathah ‘Ain Fi’ilnya. Ini bilamana ‘Ain Fi’il atau Lam Fi’ilnya berupa huruf dari salahsatu huruf-huruf Halaq. Yaitu :

ء – هـ – ع – ح – غ – خ

(Hamzah, Ha’, ‘Ain, Ha, Ghain, Kha)
contoh :

سَأَلَ يَسْأَلُ 

Sa-A-La ; Yas-A-Lu,

 مَنَعَ يَمْنَعُ

Ma-Na-’A ; Yam-Na-’U
sedangkan contoh

 أَبىَ يَأْبىَ

A-Baa ; Ya’-Baa, adalah syadz.
(Note :  Syad, menyalahi dari asal serta kiasaannya)

5. Shorof : Fi’il Tsulatsi Mujarrod Bab pertama dan kedua

Januari 22, 2011

أَمَّا الثُّلاَثِيُّ الْمُجَرَّدُ : فَإِنْ كَانَ مَا ضِيْهِ عَلَى وَزْنِ فَعَلَ مَفْتُوْحَ الْعَيْنِ

    .فَمُضَارِعُهُ يَفْعُلُ أَوْ يَفْعِلُ بِضَمِّ الْعَيْنِ أَوْ كَسْرِهَا نَحْوُ ;

    نَصَرَ يَنْصُرُ ; وَضَرَبَ يَضْرِبُ

Adapun fi’il tsulatsi mujarrod : yaitu (Bab 1 / Bab 2) jika padafi’il madhi-nya berwajan fa-’a-layang difatahkan ‘ain fi’ilnya, maka pada fi’il mudhari’nya ikut wazan yaf-‘u-lu atauyaf-‘i-lu dengan didhommahkan ‘ain fi’ilnya atau dikasrahkan ‘ain fi’ilnya.
Contoh :

نَصَرَ – يَنْصُرُ

Na-sho-ro (Dia seorang laki2 telah menolong) ; Yan-shu-ru (Dia seorang laki2 akan/sedang menolong), dan

 ضَرَبَ  –  يَضْرِبُ

Dho-ro-ba (Dia seorang laki2 telah memukul) ; yadh-ri-bu (Dia seorang laki2 akan/sedang memukul)
Contoh2 Tsulatsi Mujarrod Bab 1 Klik :http://nahwusharaf.wordpress.com/belajar-ilal/wazan-fiil/fi%e2%80%99il-tsulatsi-mujarrad/contoh-tashrif-fiil-tsulatsi-mujarrad-wazan-bab-1/
(Ref. Al-Kailani ; 3)
——————
Glossary :
Fiil Tsulatsi Mujarrod = Jenis kata kerja yg berasal dari tiga huruf  dengan tdk menerima tambahan. Merupakan salah satu dari pembagian bentuk fi’il yg terdiri atas beberapa bab.
Fi’il Madhi : Kata kerja yg menunjukan makna yg terjadi pada waktu yg telah lewat. Wazan Tashrifnya ada 14. Binanya ada 6.
Fi’il Mudhore : Kata kerja yg menunjukkan makna waktu yg sedang terjadi (Hal) dan yg akan datang (Mustaqbal). (Akan/sedang). Wazan Tashrifnya ada 14. Binanya ada 12.
Wazan = Timbangan, Ukuran, Cetakan, Acuan, Referensi. Istilah yg dipakai dalam ilmu shorof untuk mengetahui perubahan fungsi dan makna kata seperti pada posisi : Fi’il Madhi, Fi’il Mudhore, Masdar, Isim Fa’il, Isim Maf’ul, Fi’il Amar, Fi’il Nahyi, Isim Makan/Zaman, Isim Alat.

Hikmah : Tawadhu, Rahasia Al-fiyah Bet 5, 6, 7.

Januari 11, 2011

  بسـم الله الرحمن الرحيم

Bait 5 :

وَتَقْتَضِي رِضَاً بِغَيْرِ سُخْطِ  #  فَـائِقَةً أَلْفِــــيَّةَ ابْنِ مُعْطِي

Maka ia menuntut keridhoan tanpa kemarahan (ketekunan dan kesabaran dalam mempelajarinya) # Ia telah mencakup Kitab Alfiyah karangan Ibnu Mu’thi (Imam Abu Zakariya Yahya putra Imam Mu’thie).
Qouluhu wa taqtadhie: Dalam bait 5 muqoddimah ini, Kyai Mushonnif  Syeikh Al-’alamah Imam Ibnu Malik menyampaikan pesan  khusus muatan kitab al-fiyahnya. Ia menuntut kepada keridloan ; dari Alloh SWT, pengarang dan dari yang mempelajarinya. Tekun dan sabar mempelajarinya dengan tidak disertai amarah. Alfiyah ini gaya bahasanya tidaklah sulit, mudah dicerna. Mampu mendekatkan pengertian yang jauh dalam ilmu nahwu dengan ungkapan yang ringkas. Kepadatan materinya dapat menjabarkan pengertian yang luas. Juga menyampaikan iklan bahwa karangan Al-fiyah kami (Kata Kyai Mushonif), sudah mencakup dan lebih unggul daripada alfiyah karangan Imam Ibnu Mu’thie.
Qouluhu Faiqotan : Bait ini disebutnya ‘Mutahharok’, -rubah ujung-, sebab asal lengkapnya, ‘faa ieqotan minha bi alfi baeti’.
Diceritakan bahwa setelah Kyai Mushonif selesai mengarang bait ini, mendadak semua karangan Al-fiyahnya hilang dari ingatan, mendadak menjadi lupa. Syahdan sampai 2 tahun lamanya, serta Kyai Mushonif sempat tidak sadarkan diri.
Dalam tidak sadarkan diri, syahdan Kyai Mushonif bermimpi jumpa dengan seseorang yang sudah sepuh. Kemudian orang tsb mengajukan pertanyaan kepada Kyai Mushonif :
“Bukankah engkau mengarang Al-fiyah, sudah sampai dimana ?”. Lantas orang tsb memberikan bait berikut,
“Wal hayyu qod yaghlibu alfa mayyiti”. (Dan adapun seorang yang hidup, terkadang dapat mengalahkan seribu orang yang telah meninggal).
Adapun orang yang dijumpai dalam mimpi tersebut tiada lain adalah Syaikh Al-’alamah Imam Abu Zakariya Yahya ibnu Imam Mu’thie, ulama yang telah terlebih dahulu mengarang alfiyah.
Setelah bermimpi seperti itu, Syeikh Ibnu Malik terbangun, dan dapat mengingat kembali karangan Al-fiyahnya seperti sedia kala. Lantas Ibnu Malik introspeksi dan memohon permintaan maaf  atas kemasgulan karangannya serta kekhilafannya, kurang tawadhu dan telah su’ul adab kepada Imam Ibnu Mu’thie dengan menyampaikan bait 6 berikut :
Bait 6 :

وَهْوَ بِسَبْقٍ حَائِزٌ تَفْضِيْلاً  #  مُسْـتَوْجِبٌ ثَنَائِيَ الْجَمِيْلاَ

Dan sebab lebih dulu sebetulnya beliaulah yang berhaq memperoleh keutamaan # dan  mewajibkan sanjungan indahku (untuknya).
Yang maksudnya, jadi karena Syeikh Ibnu Mu’thie sudah terlebih dahulu dalam zamannya, maka lebih utama mendapat  keunggulan, serta layak jika Ibnu Malik mengakui dan memberikan sanjungan keutamaan kepada kitab karangan Ibnu Mu’thie serta pribadinya. Adapun Ibnu Mu’thie, lahir tahun 564 H, wafat tahun 628 H (Berusia 64 tahun).
Sebagaimana ada ungkapan bahwa ; “Al-fadhlu lil mutaqoddimiena”.(Adapun keutamaan itu, tetap kepada rupa2 orang yang terdahulu). Seperti Imam dengan Ma’mum, Mubtada dengan Khobar, Jar dengan Majrur, Orang tua dengan Anak, dsb. Lantas Ibnu Malik berdo’a kepada Alloh SWT. dengan bait 7 berikut :
Bait 7 :

وَاللهُ يَقْضِي بِهِبَـاتٍ وَافِرَهْ #  لِي وَلَهُ فِي دَرَجَاتِ الآخِرَهْ

Semoga Allah menetapkan pemberian-pemberian yang sempurna # untuku dan untuknya didalam derajat-derajat akhirat.
Tanbih : Lafad “Wallohu yaqdhie” umpama menurut ilmu ma’ani termasuk kepada lafad khobar, maknanya du’a. Adapun yang dimaksudnya adalah ; “bi hibbati wafiroh”, yaitu “Tsubuutul iman wal islam” (Tetapnya iman dan islam).
I’lam : Tapi menurut sebagian ulama, bait ini kurang tepat, yang bagusnya adalah : “Wallohu yaqdhie bir-ridlo’a warrohmah # Lie wa lahu wa li jamie-iel ummah”. Wallohu a’lam. *** (Iqbal1).


Shorof : Bentuk / Bina Fi’il (Lanjutan Pembagian Fi’il)

Januari 6, 2011
Dan Bentuk Fi’il terbagi lagi kepada :
1. Bina Salim, artinya bentuk fi’il yg selamat pada asal huruf-hurufnya daripada huruf Illat, Hamzah, dan Tadh’if .
2. Bina Ghair Salim, artinya bentuk fi’il yg tidak selamat pada asal huruf-hurufnya daripada huruf Illat, Hamzah, dan Tadh’if .

“ وَنَعْنِيْ بِالسَّالِمِ مَا سَلِمَتْ حُرُوْفُهُ اْلاَصْلِيَّةُ الَّتِيْ تُقَابَلُ بِالْفَاءِ وَالْعَيْنِ وَالاَّمِ مِنْ حُرُوْفِ الْعِلَّةِ وَالْهَمْزَةِ وَالـتَّضْعِيْفِ “.

“Dan kami mengartikan tentang Fi’il Salim : adalah kalimat yang huruf-huruf aslinya yang terdiri dari Fa’ Fi’il, ‘Ain Fi’il, dan Lam Fi’il, selamat dari huruf-huruf ‘Illat, Hamzah, dan Tadh’if ” – (Al-Kailanie, Litashriefil-Izzie : 2 – 3). 
Contoh Bina Salim, seperti :

نَصَرَ – ضَرَبَ – فَتَحَ

Contoh Ghair Salim, seperti :

مَدَّ – سَأَ لَ  – قَالَ  – رَمَى 

*****
Glossary :
Huruf Hamzah, ialah kalimah yang asal huruf-huruf aslinya ada huruf hamzah pada Fa, ‘Ain, dan Lam fi’ilnya (Mahmuz).
Apabila posisi huruf hamzah menempati Fa’ Fi’il, maka dinamakan Bina’ Mahmuz Fa’.
Contoh : أ َمَلَ
Apabila huruf hamzah berada pada ‘Ain Fi’il, dinamakan Bina’ Mahmuz ‘Ain.
Contoh : سَأ َلَ 
Apabila huruf hamzah menempat posisi Lam Fi’il, maka disebut Bina’ Mahmuz Lam.
Contoh : قَر َأَ
Huruf ‘Illat, artinya sebab atau penyakit. Dinamakan demikian lantaran huruf2 ilat itu sering jadi sebab buat memanjangkan lain huruf. Dan juga sering dibuang dari satu kalimat lantaran tidak perlu sebagaimana dibuangnya sesuatu yg berpenyakit. Hurup ‘Illat ; ialah  Ya, Wawu, dan Alif.
Huruf Tadh’if, ialah huruf-huruf kembar/ganda/dobel (Fi’il Dobel) yang beridghom seperti Farro, ‘Adda, dsb. Idghom itu artinya memasukkan satu huruf kepada satu huruf seperti Faroro dijadikan Farro. Bentuk fi’il ini bisa merupakan fi’il Goer Salim, karena huruf asalnya tidak sebanding dg fa, ain dan lam pada wazan fa-a-la.
  • Maksud tadh’if  disini adalah jika pada Fi’il Tsulatsiy, yaitu jika ‘ain fi’il dan lam fi’ilnya terdiri dari huruf yang sejenis. Misalnya “Ro-d-da” :

  رَدَّ

  • Dan maksud tadh’if dari Fi’il Ruba’iy, yaitu jika fa’ fi’il danlam fi’il pertama sejenis. Juga ‘ain fi’il dan lam fi’il kedua sejenis. Misalnnya “Za-l-za-la”, “Sa-l-sa-la” :

 زَلْزَلَ  -  سَلْسَلَ 

Tadh’if, mujarodnya dho’afa, artinya lemah. Setelah didobel / ditambah, artinya jadi melemahkan. Wallohu a’lam. (***)

Tamsil : Setangkai Mawar Putih dan Sang Burung

November 25, 2010
Suatu hariada seekor burung yang jatuh cinta pada mawar putih.
Burung pun berusaha ungkapkan perasaannya.
Tapi mawar putih berkata ; “Aku tidak akan pernah bisa mencintai kamu”.
Burung pun tidak menyerah.
 
Setiap hari dia datang untuk menemui mawar putih.
Akhirnya mawar putih berkata ; “Aku akan mencintai kamu, jika kamu dapat mengubahku menjadi mawar merah !”.
Dan suatu hari burung pun datang kembali.
Dia memotong sayapnya dan menebarkan darahnya pada mawar putih.
Hingga mawar putih berubah menjadi mawar merah.
Mawar putih pun sadar seberapa besar burung mencintai dirinya.
Tapi semua terlambat.
Karena sang burung tak akan pernah kembali lagi ke dunia.
Hargailah siapapun yang mencintaimu. Sebelum dia pergi jauh untuk meninggalkanmu.
(syair dari seorang teman)
Itu adalah buah karya sastra yang cukup menyentuh. Tamsil legenda dari dua orang yang saling mengasihi. Syahdan, tamsil cerita romantisme seperti itu diabadikan juga oleh Ibnu Malik dalam Maha Karya Sya’ir Alfiyahnya.
Dalam beberapa satarnya di Bab Fi’il At-ta’ajjub  dapat ditemukan seperti bait berikut (Bait 475) :

وَتِلوَ أَفْعَلَ انْصِبَنَّهُ كَمَا # أَوفَى خَلِيْلَيْنَا وَأَصْدِقْ بِهِمَا

(Nashabkanlah lafadh yang mengikuti wazan af’ala, seperti dalam contoh ; Maa Aufaa Kholielaenaa dan Ashdiq Bihimaa. Artinya :Alangkah setianya dua orang kekasihku itu ; dan alangkah setianya keduanya itu). 
Atau contoh ungkapan  sya’ir lain :
“Kholielayyaa Maa Ahroo Bi Dzillubbi An Yuroo ; Shobuuron Wa Laakin Laa abiela Ilaash-shobri”.
Wahai kedua kekasihku, alangkah pantasnya bagi orang yang memiliki akal bila ia bersikap sabar. Akan tetapi tidak ada jalan untuk bersabar. Wallohu a’lam.*** (Iqbal1)

Wacana : Karakter Pemimpin Ideal, Telaah Analogis Alfiyah Ibnu Malik

November 11, 2010
Dalam sebuah organisasi, posisi seorang pemimpin memiliki peran sangat vital sekali, karena ia bagaikan hati dalam jiwa, ia adalah mesin bagi sebuah kendaraan, ia laksana makanan bagi setiap makhluq yang bernyawa, ia adalah imam bagi ma`mumnya, ia bagaikan bapak bagi ibu dan anaknya, ia adalah presiden bagi bangsa dan negaranya, gubernur bagi wilayahnya, bupati bagi daerahnya, wali kota bagi kotanya, ia pula laksana direktur disebuah perusahaan ataupun lembaga, ialah satu-satunya diantara sekian banyak orang yang ada dalam struktur organisasi tertentu yang akan menjadikan organisasi itu maju atau justru sebaliknya, ia urat nadi kehidupan, mesin motor yang menggerakkan, dialah yang oleh Ibnu Malik dikonsepsikan sebagai Mubtada` dalam maha karyanya, Alfiyah Ibn Malik
Mubtada` menurut ibn Malik dalamnadzam Alfiyah ialah seorang pemuka sebuah organisasi dengan kecakapan dan keterampilan memimpin melebihi yang lain (zaidun),penuh kasih dan sayang, bersifat pema`af (`adzir)terhadap bawahannya(khabar) dan berkarakter jiwa mulia dalam menjabat sebagai pimpinan disetiap badan yang terorganisir, sebagaimana ditegaskan dalam bait nadzam Alfiyah yang menerangkan kriteria mubtada-khabar (Mubtada`un zaidun wa`adzirun khabar – in qulta zaidun `adirun mani`tadar), artinya, bahwa standard ideal seorang pemimpin haruslah berjiwa pema`af(`adirun mani`tadzar), tetapi tidak untuk semua hal yang melanggar aturan tetap dalam organisasi harus dima`afkan dengan serta-merta karena dalih berjiwa pema`af, seperti contoh pelanggaran terhadap AD/ART, aturan atau ketetapan lain yang berkekutan hukum hampir sepadan dengannya yang dalam gramatikal arab semua itu dikenal dengan sebutan kaidah-kaidah lazimah, seperti mubtada` harus dibaca rafa`,  fi`il madi maftuhul akhir abadan illa idza kana muttashilan bi ta`iddomir almutaharrik, ila ghairi dzalik…
Hal-hal yang demikian itu harus diadakan pengkajian lebih mendalam lagi melalui tahapan prosedural yang jelas, jika tidak, maka keganjilan demi keganjilan yang akan terjadi kemudian, itulah yang kita sebutnadir, langka, jarang terjadi atau bahkan syad, keluar dari frem yang telah menjadi garis keniscayaannya.
Kendati seorang pemimpin dituntut berjiwa lembut, pengasih dan penyayang yang oleh Ibn Malik disederhanakan bahasanya dalam kemasan sifat kemanusiaan yaitu `adzir (pema`af), namun aturan yang telah disepakati dalam sebuah organisasi harus pula diikuti oleh setiap komponen yang ada di dalamnya, maka, jika ada pelanggaran terhadap AD/ART sebuah organisasi (kaidah-kaidah lazim dalam gramatika Arab) di setiap tingkatan keorganisasian, mulai dari tingkat desa, kota, daerah, wilayah atau bahkan dalam skala yang lebih besar, yaitu negara sekalipun.
Jika terjadi penyalahgunaan wewenang oleh para pejabat misalnya, penyelewengan kekuasaan atasnama instansi tertentu, inkonsistensi dalam berorganisasi, ambivelen, dan sifat inkonstitusional lainnya yang menjadikan buramnya visi misi sebuah organisasi, maka menegakkan aturan hukum yang berlaku untuk hal itu harus segera diterapkan dan dilaksanakan sebagai tahapan sanksi dalam organisasi, sementara idealisasi seorang pemimpin yang dituntut berjiwa pema`af  harus diproporsikan maknanya sesuai dengan tingkat kekuasaannya serta seberapa besar pelanggaran yang dilakukan oleh bawahannya, dari sisi inilah, kiranya perbedaan cara pemimpin dalam mema`afkan kesalahan bawahannya
Wal Hal, pemimpin (mubtada) ideal adalah manusia yang berakal sempurna (al ism al marfu`) dan menjadikan akalnya sesuai fungsi dasar dari akal tersebut (al `ari `anil awamilil lafdziyah). Hal itu bisa didapat jika orang yang menjadi pemimpin (mubtada) tersebut memiliki kecakapan lebih dalam banyak disiplin ilmu pengetahuan, berhati ikhlas serta berjiwa pema`af, untuk tidak mengucapkan bersifat arrahman-arrahim, karena sifat itu lazim dinisbatkan kepada Allah azza wajalla.
Dalam konteks berhati ikhlas serta berjiwa pema`af (`adzir mani`tadzar), Ibn Malik memilih menjadikan hal itu sebagai kriteria yang sangat penting dan paling asasi dalam karakter pemimpin ideal, mengingat sifat manusia yang sedang menjadi penguasa (pemimpin) sering kali lupa akan sifat dasar kemanusiaannya, ia seakan manusia tanpa lupa, alpa dan dosa. Bertaming kekuasaannya, ia bisa saja menjadikan orang lain yang sedang berada di bawah kuasanya, sebagai manusia yang tidak berdaya bahkan menjadikan lebih tidakberdaya lagi, sifat itu, justru sering muncul dari perasaan seorang manusia yang sedang menjadi pemimpin (mubtada) yang tidak berkenan mema`afkan kesalahan orang lain, dalam istilah kepemimpinan lebih dikenal dengan term diktator (istibdadi).
Pemimpin (mubtada) dengan model diktator tersebut, tidak segan-segan hanya mencukupkan dirinya sendiri secara pribadi dan tidak memasang khabar sebagai wakil tetap dalam upaya kelengkapan dan kesempurnaan semua kerja organisasinya, justru ia lebih percaya kepada pihak lain (fa`il, mitra kerja) untuk menggantikan posisi khabar yang semestinya, kehadiran fa`il dipasang sebagai mitra kerja pengganti khabar, dalam term gramatikal arab disebut  fa`il sadda masaddal khabar yang merupakan bagian kedua dari pembagianmubtada (pemimpin), seperti dipertegas dalam Syarah Alfiyah ibn Malik karya ibn Aqil, menurutnya, mubtada dapat dibagi menjadi dua bagian,pertama mubtada (pemimpin) yang memiliki khabar (wakil) dan keduamubtada (pemimpin)yang memposisikan fa`il sebagai sadda masaddal khabar (mitra kerja)
Khulasatul kalam. Dalam Alfiyahnya Ibn Malik, bab al mubtada wal khabar,beliau menyiratkan arti kandungan sya`irnya, bahwa karakter pemimpin ideal adalah manusia yang berjiwa agung, memiliki kompetensi dan disiplin ilmu pengetahuan yang luas (Zaidun), berjiwa mulia dan berkenan mema`afkan kesalahan pihak lain yang bersifat haqqul adami (`Adzir mani`tadzar).
Teori kepemimpinan dengan jiwa pema`af (`adzir) ini, selaras dan sejalan dengan apa yang digambarkan oleh Abdurrahman Addiba`idalam madahnya menyikapi gaya kepemimpinan  Nabi Muhammmad Saw.
Addiba`i mengungkapkannya dalam gubahan bahasa indah penuh mutiara arti “in udziya ya`fu wala yu`aqib”,  Jika beliau(Nabi Muhammad Saw.) disakiti, beliau berkenan mema`afkan dan tidak membalasnya.
Tipe seorang pemimpin seperti beliau Nabi Muhamad Saw. Itulah yang tergambar dalam nadzam ibn Malik, karena dengan kemurahan jiwanya yang mulia dan dengan bahasanya yang indah, santun dalam mema`afkan kesalahan ummatnya, beliau dianalogikan laksana air di tengah gersangnya padang pasir, bak angin semilir yang mendinginkan keringat panas mengalir, kehadirannya di muka bumi seperti awan yang melindungi panasnya terik mentari, bahkan beliau disebut Assyafi` sang Nabi yang memberikan pertolongan kepada ummat manusia di dunia dan di akhirat nanti, ketika para nabi tidak mampu melindungi ummatnya dari kebingungan yang melanda seluruh manusia di alam mahsyar
Suasana alam mahsyar yang dalam bahasa al Qur`an disebut sebagai“yauma la yanfa`u malun wala banun, illa man atallaha biqalbin salim”.Itulah yang menegaskan posisi kepemimpinan Nabi Muhammad Saw. berbeda dengan para nabi lainnya, beliau laksana terangnya cahaya yang memancarkan sinar kecintaannya kepada setiap manusia, beliaulah panutan ummat sepanjang masa, pemimpin agung sehidup semati, the great leader in world, pahlawan yang gagah berani, dialah Nabi Muhammad Saw. Bahkan ketika beliau bersujud dihadapan Allah sang pemilik raja diraja untuk kepentingan ummat manusia, dengan mudahnya Allah mengabulkan permohonannya, sebagaimana disebutkan dalam riwayat hadits, Ya Muhammad, Irfa` ra`sak wasal tu`tha, wasyfa` tusyaffa`, wahai Muhammad, angkatlah kepalamu, mintalah engkau, niscaya akan kuberikan, dan berilah syafa`at, niscaya akan kuberi syafa`at pertolongan
Sungguh namamu akan selalu indah dan dikenang dalam hati nurani setiap manusia, sikap dan tindakanmu adalah hujjah abadi bagi setiap pemimpin sejati, Allahumma shalli ala sayyidina Muhammad wa ala alihi wa shahbihi wasallim, semoga kita menjadi ummat Muhammad yang setia mengikuti jejak langkah kebenarannya, Rabbana atina fiddunya hasanah, wa fil akhirati hasanah wa qina adzabannar, Amin. *** (Iqbal1)
(Sumber : Umamelsamfani, Alumnus Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur / Mahasiswa Al Ahqaff  University Hadramaut Yaman).

Ilmu Shorof : Kitab Amtsilatu Tashrifiyyah

November 9, 2010
Al-Amtsilah At-Tashrifiyyah (Karya KH. M. Ma’shum bin Ali)
Kitab inimenerangkan ilmu sharaf.Susunannya sistematis, sehingga mudah difaham dan dihafal bagi para pelajar. Hampir di seluruh lembaga pendidikan Islam baik di Indonesia atau pun negara luar, kitab ini menjadi salah satu bidang study yang tetap dikaji. Saking masyhurnya, kitab ini mempunyai julukan “Tasrifan Jombang”.
Keagungan kitab ini tak hanya terletak pada ilmu sharaf. Bila diteliti ternyata memuat makna filosofi tinggi.
Pada contoh fi’il tsulasi mujarrad misalnya, keenam kalimat tersebut memiliki filososfi bahwa “pada awalnya sang santri ditolong oleh orang tuanya (nashara), sesampainya di pesantren ia dipukul/dididik (dlaraba). Kemudian setelah tersakiti, hatinya akan terbuka (fataha). Barulah ia akan pintar (‘alima) dan menuntutnya agar berbuat baik (hasuna). Ia berharap masuk surga di sisi Allah (hasiba).
Kitab yang terdiri dari 60 halaman ini, telah diterbitkan oleh banyak penerbit. Jadi kita tidak akan kesulitan mendapatkannya. Pada halaman pertama tertera sambutan berbahasa arab dari mentri Agama RI (Waktu Itu) , KH. Saifuddin Zuhri, dan di terbitan baru ada pengantar dari Nyai Hj. Abidah Ma’shum, Kwaron.*** (Iqbal1)

Catatan : Fi’il Ta’ajjub

Oktober 28, 2010

التَّعَجُّبُ

بِأَفْعَلَ انْطِقْ بَعْدَ مَا تَعَجُّبَا  #  أَو جِىء بِأَفْعِلَ مَجْرُورٍ بِبَا

وَتِلوَ أَفْعَلَ انْصِبَنَّهُ كَمَا  #  أَوفَى خَلِيْلَيْنَا وَأَصْدِقْ بِهِمَا

وَحَذْفَ مَا مِنْهُ تَعَجَّبْتَ ا سْتَبحْ  #  إِنْ كَانَ عِنْدَ الحَذْفِ مَعْنَاهُ يَضِحْ

 وَفِي كِلاَ الفِعْلَيْنِ قِدْمَاً لَزِمَا  #  مَنْعُ تَصَرُّفٍ بِحُكْم حُتِمَا

وَصُغْهُمَا مِنْ ذِي ثَلاَثٍ صُرِّفَا  # ً قَابِلِ فَضْلِ تَمَّ غَيْرِ ذِي انْتِفَا

وَغَيْرِ ذِي وَصْفٍ يُضَاهِي أَشْهَلا  # َ وَغَيْرِ سَالِكٍ سَبِيْلَ فُعِلاَ

 وَأَشْدِدَ أو أَشَدَّ أَو شِبْهُهُمَا  #  يَخْلُفُ مَا بَعْضَ الشُّرُوطِ عَدِ مَا

وَمَصْدَرُ العَادِمِ بَعْدُ يَنْتَصِبْ #  وَبَعْدَ أَفْعِل جَرُّهُ بِالبَا يَجِبْ

 وَبِالنُّدُورِ احْكُمْ لِغَيْرِ مَا ذُكِرْ  #  وَلاَ تَقِسْ عَلَى الَّذِي مِنْهُ أُثِرْ

وَفِعْلُ هَذَا البَابِ لَنْ يُقَدَّمَا  #  مَعْمُولُهُ وَوَصْلَهُ بِهِ الزَمَا

وَفَصْلُهُ بِظَرْفٍ أو بِحَرْفِ جَرّ #  مُسْتَعْمَلٌ وَالخُلفُ فِي ذَاكَ اسْتَقَرْ

 - الفية ابن مالك -

Keterangannya :
Kyai Musonif akan menerangkan Bab Ta’ajjub. Apa sebabnya bab ta’ajjub (Di Kitab) disampaikan setelah bab sifat musyabbahah. Karena antara sifat musyabbahah dengan ta’aajub terdapat wajah kebersamaan (musyarokah).
Adapun yang terdahulu membuat shegat ta’ajjub adalah putera perempuannya Imam Abu Aswad Addualie, yaitu pernah mengatakan begini : “Maa Asyaddul harri ?”. Terus kalimah itu dibetulkan oleh ayahandanya sebab tarkibannya salah. Adapun yang benarnya adalah begini : ”Maa Asyaddal harro”, artinya : “Amat sangat panasnya”, dan (mengingat) ta’rifnya ta’ajjub itu yaitu : “Idrooku umuurin ghooribatin khoofiyatis-sabab”. Artinya : “Menemukan perkara yang aneh dengan tidak hafal sebabnya”.
Syarat ta’ajjub itu ada tiga : 1. Harus menyandar (sanding) antara Maa Ta’ajjub dengan Fi’il Ta’ajjub. 2. Fi’ilnya harus bangsa Tsulatsie. 3. Asal pokok Mu’ta’ajjub Minhu-nya wajib ma’rifat, ilatnya lietahsielil faa idah.
Rukun ta’ajjub itu ada tiga : 1. Maa ta’ajjubiyah. 2. Fi’il ta’ajjub. 3. Muta’ajjub minhu (ma’mul ta’ajjub).
Pembagian ta’ajjub itu ada dua : 1. Ta’ajjub Dzatie, yaitu bilamana ta’ajjub diatur dengan wazan “Maa Af’ala” dan “Af’il Bihi”. 2. Ta’ajjub ‘Arodhie, yaitu ta’ajjub yang keluar dari wazan “Fa’ila” dipindahkan ke wazan “Fa’ula” seperti “Qodhuwar rojulu”, dan yang keluar dari jumlah ismiyah seperti “Wallohu dhorruhu faa risan”.
Kesimpulan tiap2 Bait : 
Ta’ajjub adalah berarti juga ; “Memperbesar kelebihan pada sifat fa’il yang penyebabnya masih samar”.  Ini sebaik2nya ta’rif seperti pendapat Ibnu Ushfur ; “Huwas-ti’dhoomu ziyaadatin fie wasfil-faa’ili khofiya sababuhaa”. (Ibnu Hamdun : 1 ; 232)
Kesimpulan Kaidah Ta’ajub di bait 1 di atas :

بِأَفْعَلَ انْطِقْ بَعْدَ مَا تَعَجُّبَا  #  أَو جِىء بِأَفْعِلَ مَجْرُورٍ بِبَا

“Dengan yg turut akan wazan af’ala, harus mengucapkan kamu (halnya tetap) setelah maa ta’ajjub ; Atau mendatangkan kamu kepada mauzuun yg turut akan wazan af’il, halnya tetap sebelum isim yang dijarkan oleh ba ziyadah”.
Bentuk pertama : Bilamana akan menjadikan fi’il ta’ajjub, samakan saja kepada wazan “af’ala”, diamkan setelah lafadh “maa”.
Contoh : “Maa ahsana zaidan” (Alangkah baiknya Si Zaed). – “Maa afdholahuu wa maa a’lamahuu” (Alangkah utamanya dia dan alangkah alimnya dia).
“Maa” adalah mubtada (ini kata khusus permulaan kata fi’il ta’ajjub) bermakna sesuatu, dan “af’ala” adalah fi’il madhi (kata kerja lampau bangsa tsulatsie -majied- / berasal dari tiga huruf yg menerima tambahan), sedangkan fa’ilnya (subjeknya) adalah dhamir (kt ganti) yg tersembunyi wajib disembunyikan, yg kembali kepada “maa” ; dan isim yg dinashabkan ialah “muta’ajjub minhu” (pengikut amal), berkedudukan sebagai “maf’ul beh” (objek penderita), sedangkan jumlah semuanya merupakan khabar dari “maa”.
Bentuk kedua : Atau samakan saja kepada wazan “af’il”, diamkan setelah kalimat yang dijarkan oleh “ba-ziyadah”. Seperti “Ahsin bi zaedin ” (Alangkah baiknya si zaid) – “Akrim bihi” (Alangkah mulianya dia).
Lafadh “af’il” adalah fi’il yg lafadhnya berbentuk amar tetapi maknanya adalah ta’ajjub (bukan perintah), dan di dalamnya tidak mengandung dhamir. Sedangkan “bi zaedin” adalah fa’ilnya.
Bentuk asal kalimah “Ahsin bi zaedin” (Alangkah baiknya Si Zaed) ialah “Ahsana Zaedun” (Si Zaed menjadi orang yg baik) ; perihalnya sama dengan “Auroqosy-syajaru” (Pohon itu telah berdaun), kemudian bentuknya diubah menjadi bentuk amar, maka dianggap tidak baik bila secara langsung disandarkan kepada isim dhohir, untuk itulah maka ditambahkan huruf “ba” pada fa’ilnya. (Wallohu ‘alam)
Kesimpulan Kaidah Ta’ajub di bait 2 di atas :

وَتِلوَ أَفْعَلَ انْصِبَنَّهُ كَمَا  #  أَوفَى خَلِيْلَيْنَا وَأَصْدِقْ بِهِمَا

“Dan harus menashabkan kamu atas isim yang sanding kepada lafadh af’ala. Tegasnya harus menashabkan kamu atas isim yang sanding kepada lafadh af’ala seperti Maa aufaa kholielaenaa wa ashdiq bihima (Seperti perkara yang memenuhi dua sahabat/kekasih kami, serta  kaget benar keduanya)”. 
Kalimah yang menyandar/sanding kepada fi’il ta’ajjub wazan “maa af’ala” maka harus dinashabkan. Contoh seperti “Maa ahsana zaidan”, Ilat sebabnya harus nashab ; “li anna ma’muulat-ta’ajjubi bi shurotil-fadhlati. Wa haqqul-fadhlati an yakuuna manshuuban” (karena sesungguhnya “ma’mul maa fi’il ta’ajjub” itu seperti tambahan/fadlah. Adapun hak-nya fadhlah terbuktinya dinashabkan).
Adapun kalimah yang menyandar kepada fi’il ta’ajjub wazan “af’il”, maka kalimat itu jar-kan oleh “haraf jar zaidah laazimiyyah”. Contoh seperti lafadh “Ahsin bi zaedaeni” dan seperti lafadh “Wa ashdiq bihimaa”.
Kesimpulan Kaidah Ta’ajub di bait 3 di atas :

وَحَذْفَ مَا مِنْهُ تَعَجَّبْتَ ا سْتَبحْ  #  إِنْ كَانَ عِنْدَ الحَذْفِ مَعْنَاهُ يَضِحْ

Adapun perkara fi’il ta’ajjub, maka fi’il itu apabila ada dalil boleh dibuangnya, tetapkan (anggerkeun) fi’il ta’ajjubnya. Contoh seperti lafadh dalam sya’iran :
“Aroo umma amrin dam’uhaa qod tahadaroo ; Bukaa-an ‘ala amrin wa maa kaana ashbaroo”. “Wataqdieru maa kanaa ashbaroha“.  (Menyaksikan saya akan ibunya Ki Amar air matanya betul2 telah berlinang ; oleh sebab menangisi Ki Amar dan semoga menjadi sabar ibunya Ki Amar).
“Haa” disitu (maa kanaa ashbaroha) adalah maf’ul lafadh ashbaro, dibuang karena menunjukkan kepada lafadh sebelumnya (“lidalaalati maa qoblahu alaih / alaih bima taqoddama”).
Contoh yg kedua seperti firman Alloh SWT ; “Asmi’ bihim wa abshir (wallohu ‘alam). Attaqdieru wa abshir bihim. “Bihim” dibuang setelah wa abshir”.  
Kesimpulan Kaidah Ta’ajub di bait 4 di atas :

وَفِي كِلاَ الفِعْلَيْنِ قِدْمَاً لَزِمَا  #  مَنْعُ تَصَرُّفٍ بِحُكْم حُتِمَا

Adapun perkara fi’il ta’ajjub, baik wazan af’ala ataupun wazan af’il, maka fi’il itu dicegah dua-duanya dari di-tashrif, meskipun mulanya menerima di-tashrif. Tegasnya tidak pernah digunakan wazan af’ala selain fi’il madhinya, dan tidak pernah digunakan wazan af’il selain fi’il amarnya.
Kesimpulan Kaidah Ta’ajub di bait 5 / 6 di atas :

 وَصُغْهُمَا مِنْ ذِي ثَلاَثٍ صُرِّفَا  # ً قَابِلِ فَضْلِ تَمَّ غَيْرِ ذِي انْتِفَا

وَغَيْرِ ذِي وَصْفٍ يُضَاهِي أَشْهَلا  # َ وَغَيْرِ سَالِكٍ سَبِيْلَ فُعِلاَ

Apabila hendak mencetak fi’il ta’ajjub, maka fi’il itu harus menyamakan kepada persyaratan yang tujuh, yg diterangkan dalam dua bait ini :
1. Harus fi’il bangsa tsulatsie. 2. Harus menerima di-tashrif. 3. Harus ada makna fi’il itu yang menerima pada saling melebihkan. 4. Fi’ilnya harus fi’il tam (tdk goer qiyas). 5. Fi’ilnya jangan manfi (negatif). 6. Dan tdk boleh fi’il yg mempunyai shegat sama kepada wazan af’ala. 7. Dan fi’ilnya tdk boleh yg majhul (pasif).
Contoh fi’il ta’ajjub yg memenuhi persyaratan seperti ini ; “Maa ahsana zaedun” dan seperti “Wa ashdiq bihi”.
Kesimpulan Kaidah Ta’ajub di bait 7 / 8 di atas :

وَأَشْدِدَ أو أَشَدَّ أَو شِبْهُهُمَا # يَخْلُفُ مَا بَعْضَ الشُّرُوطِ عَدِ مَا

وَمَصْدَرُ العَادِمِ بَعْدُ يَنْتَصِبْ # وَبَعْدَ أَفْعِل جَرُّهُ بِالبَا يَجِبْ

Bilamana terdapat fi’il kosong dari sebagian syarat, maka fi’il itu apabila dijadikan fi’il ta’ajjub gantikan saja oleh lafadh “Asydid” atau oleh lafadh “Asyadda”, atau “Syibahahnya”, tegasnya “Aktsaro” dan “Aktsir Bihi”. Kemudian ambil masdharnya fi’il yg kosong dari setengahnya syarat itu, simpan setelah lafadh “Asyadda”, bacanya harus “Dinashabkan”. Contoh seperti lafadh “Maa asyadda dakhrojatahu”, atau seperti lafadh “Maa asyadda istikhroojahu”.
Atau simpan setelah lafadh “Asydid” beserta wajib dijarkan oleh “Ba zaidah” masdar itu. Contoh seperti lafadh “Asydid bi dakhrojatihi”, atau seperti lafadh “Asydid bi istikhroojatihi” (Ini ruba’i).
Kesimpulan Kaidah Ta’ajub di bait 9 di atas :

وَبِالنُّدُورِ احْكُمْ لِغَيْرِ مَا ذُكِرْ # وَلاَ تَقِسْ عَلَى الَّذِي مِنْهُ أُثِرْ

Bilamana ada fi’il kosong dari sebagian syarat, tetapi tetap dijadikan fi’il ta’ajjub, tapi tidak digantikan oleh lafadh “Asyadda”, tidak digantikan oleh lafadh “Asydid”, dan tidak digantikan oleh lafadh “Syibahahnya”, maka fi’il itu hukumnya “Langka”, tegasnya “Samaa’i”, jangan diqiyaskan. Contoh seperti lafadh “Maa ahshorohu”, dan seperti “Maa uhmiqoohu”, tegasnya di-mabni-majhulkan (Dipasifkan), dan seperti “Maa a’ssahu” dan seperti “a’si bihi”.
Kesimpulan Kaidah Ta’ajub di bait 10 di atas :

وَفِعْلُ هَذَا البَابِ لَنْ يُقَدَّمَا # مَعْمُولُهُ وَوَصْلَهُ بِهِ الزَمَا

Adapun perkara ma’mul fi’il ta’ajjub, maka fi’il itu tidak boleh didahulukan, diakhirkan fi’il ta’ajjubnya. Contoh seperti lafadh “Maa ahsana zaedun”, tdk boleh dibaca “Zaedun maa ahsana”, dan seperti lafadh “Ahsin bi zaedin”, tdk boleh dibaca “Bi zaedin Ahsin”. Ilatnya ; “Liannaha min adawaatil ibtida-i”.
Kesimpulan Kaidah Ta’ajub di bait 11 di atas :

وَفَصْلُهُ بِظَرْفٍ أو بِحَرْفِ جَرّ # مُسْتَعْمَلٌ وَالخُلفُ فِي ذَاكَ اسْتَقَرْ

Adapun perkara antara fi’il ta’ajjub dengan ma’mulnya dipisah oleh “Huruf Jar”, atau “Dhorof” (keterangan waktu atau tempat), maka fi’il itu hukumnya rebutan kaol. Menurut sebagian kaol “Jamaatu Nahwiyyin” serta Imam Ajjurumie, boleh dipisah dengan “dhorof” atau “jar-majrur”. Menurut sebagian lagi tidak boleh, yaitu menurut Imam Akhfasy dan Imam Mubarrod.
Contoh yang boleh seperti lafadh “Maa ahsana fie haejaa’i liqoo ahaa” (Aduh alangkah bagusnya pada waktu susah menemui kekasih”) , dan seperti lafadh “Akrim fid-darbaati ‘athoo-a-haa” (Aduh alangkah mulyanya pada waktu susah memberinya tanda mata”. Adapun ilatnya kenapa boleh dipisah dengan “Dharaf” dan “Jar-majrur”, karena ; “Liannadh-dhorfa wal jarro la yu’taddu bihimaa faa shilan”. (Karena sesungguhnya dhorof dan jar-majrur tidak dihitung sebagai yang memisahkan).  Wallohu ‘alam*** (Iqbal1)
Referensi :
  1. Hasyiyah Al-’alamah Ibnu Hamduun ‘Ala Syarah Al-Makuudie Lil Al-fiyah Ibnu Maalik : (232-236).
  2. Syarah Ibnu ‘Aqiel ‘Ala Al-fiyah Ibnu Maalik : (120-122)
  3. Mutamimmah Ajjuruumiyyah : (A ; 36, B ; 388-389)
  4. Tashielul Masaalik Fie Tarjamah Alfiyah Ibnu Maalik : (329-334)
  5. Al-Amtsilatu At-Tashrifiyyah : (2-65)
  6. Http://nahwusharaf.wordpress.com

Alfiyah Bait 15 : Isim Mu’rob dan Isim Mabni

Oktober 15, 2010

الْمُعْرَبُ وَالْمَبْنِي

وَالاسْمُ مِنْهُ مُعْرَبٌ وَمَبْنِي ¤ لِشَبَـــهٍ مِنَ الْحُــرُوْفِ مُدْنِي

Diantaranya Kalimat Isim ada yang Mu’rab, dan ada juga yang Mabni karena keserupaan dengan kalimah Huruf secara mendekati. 
Bait ini menerangkan bahwa kalimah isim terbagi menjadi :
Isim Mu’rob : yaitu Isim yang selamat dari keserupaan dengan Kalimat Huruf.
Isim Mabni : yaitu Isim yang dekatnya keserupaan dengan Kalimat Huruf.
Menurut pendapat Kyai Mushannif bahwa yang menjadi illat kemabnian Kalimat Isim dirumuskan menjadi “Serupa Kalimat Huruf” yang akan dijelaskan bagian-bagiannya pada dua bait berikutnya. Rumusan Mushannif ini sejalan dengan pendapat Mazhab Nahwu lain seperti Imam Abu Ali al-Farisi, juga Imam Sibawaih, bahwa Illat kemabnian kalimat Isim semuanya dikembalikan kepada “Serupa kalimat Huruf”. *** (Ibnu Toha)
Ref.  Al-majmuah Alfiyah Ibnu Malik ; Tas-hilul Masalik Fi Tarjamah Alfiyah Ibnu Malik.

Ilmu Shorof : Pembagian Fi’il

Oktober 7, 2010
Setelah sebelumnya mendefinisikan kata Tashrif menurut Bahasa dan Istilah. Dilanjutkan mengenai Fi’il dan Pembagian Fi’il. Fi’il (kata kerja) adalah kalimat (Bahasa Indonesia: kata) yang memiliki arti pada dirinya sendiri dan berhubungan dengan waktu, yaitu waktu Maadhi (lampau) Haal (sekarang) dan Istiqbaal (akan datang).
Kailani, 2 :

ثُمَّ الْفِعْلُ اِمَّا ثُلاَثِيٌّ وَاِمَّا رُباَعِيٌّ وَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا اِمَّا مُجَرَّدٌ أَوْ مَزِيْدٌ فِيْهِ وَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهَا إِمَّا سَالِمٌ أَوْ غَيْرُ سَالِمٍ

Kemudian Fi’il itu, satu sisi: ada yang berbangsa tiga huruf (Tsulatsiy), dan pada sisi yang lain: ada yang berbangsa empat huruf (Ruba’iy). Dan masing-masing dari kedua bangsa itu, adakalanya Mujarrad atau adakalanya Mazid. Dan tiap-tiap satu dari semuanya, baik ada yang Salim atau ada yang Ghair Salim.
Kailani, Pembagian Fi'il
Keterangan :
(1). Fi’il Tsulatsiy, yaitu Fi’il yang asal huruf-hurufnya adalah tiga. sepertiضَرَبَ dho-ro-ba,artimemukul.
(2). Fi’il Ruba’iy, yaitu Fi’il yang asal huruf-hurufnya adalah empat. sepertiدَحْرَجَ da-kh-ra-ja, arti: menggelincirkan.
Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa semua Asal huruf-huruf Fi’il itu terfokus hanya kepada dua pembagian Fi’il tsb yaitu Tsulatsiydan Ruba’iy. Sebagai patokan bahwa tidak ada asal huruf Fi’il itu kurang dari tiga, atau lebih dari empat. Ketetapan ini sudah diakui merupakan pengkajian dari kalam Arab.
» Dan masing-masing dari kedua bangsa itu, adakalanya Mujarrad atau adakalanya Mazid.
(1). Mujarrad, artinya sepi dari tambahan pada asal huruf-hurufnya.
(2). Mazid, artinya ada penambahan pada asal huruf-hurufnya, baik tambahan satu huruf atau lebih, seperti: أَضْرَبَ a-dh-ra-ba arti: mendiami. dan تَدَحْرَجَ ta-da-kh-ra-ja arti: tergelincir.
 » Dan tiap-tiap satu dari semuanya, baik ada yang Salim atau ada yang Ghair Salim.
(1). Salim, artinya selamat pada Asal huruf-hurufnya daripada terdiri dari huruf Illat, Hamzah, dan Tadh’if .
Contoh :
 ضَرَبَ – دَحْرَجَ
(2). Ghair Salim, artinya tidak selamat pada asal huruf-hurufnya daripada terdiri dari huruf Illat, Hamzah, dan Tadh’if .
Contoh :
 وَعَدَ – زَلْزَلَ 
(Ibnu Toha)

Ilmu Shorof : Definisi Tashrif

Oktober 4, 2010
Sharaf atau dibaca Shorof adalah salah satu nama cabang Ilmu dalam pelajaran Bahasa Arab yang khusus membahas tentang perubahan bentuk kata (Bahasa Arab : kalimat). Perubahan bentuk kata ini dalam prakteknya disebut Tashrif.  Oleh karena itu dinamakan Ilmu Sharaf (perubahan ; berubah), karena Ilmu ini khusus mengenai pembahasan Tashrif (pengubahan; mengubah).
Kailani, 1 :

اِعْلَمْ، اَََنَّ التَّصْرِيْفَ فِي اللُّغَةِ: التَّغْيِيْرُ، وَفِي الصَّنَاعَةِ: تَحْوِيْلُ اْلأَصْلِ الْوَاحِدِ إِلَى أَمْثِلَةٍ مُخْتَلِفَةٍ لِمَعَانٍ مَقْصُوْدَةٍ لاَ تَحْصُلُ اِلاَّ بِهَا.

Ketahuilah, bahwasanya yg dinamakan Tashrif menurut Bahasaadalah : pengubahan. Sedangakan menurut Istilah adalah: pengkonversian asal (bentuk) yang satu kepada contoh-contoh (bentuk) yang berbeda-beda, untuk (tujuan menghasilkan) makna-makna yang dimaksud, (yg mana) tidak akan berhasil tujuan makna tersebut kecuali dengan contoh-contoh bentuk yang berbeda-beda itu.
Keterangan :
Asal bentuk kalimat adalah Masdar, ini menurut pendapat Ulama Bashrah. Pendapat ini lebih banyak mendapat dukungan. Sedangkan menurut Ulama Kufah, asal bentuk kalimat adalah Fi’il Madhi.
Asal bentuk adalah Masdar, dikonversikan ke sampel-sampel yang lain misalnya : Fi’il Madhi, Fi’il Mudhari’, Fi’il Amar, Fi’il Nahi, Isim Fa’il, Isim Maf’ul, Isim Zaman, Isim Makan, Isim Alat, Isim Murrah, Isim Hai’ah, Isim Nau’, Isim Tafdhil, Shighat Mubalaghah dan lain-lain. Perubahan ke sampel-sampel tersebut, tujuannya untuk menghasilkan makna yang diinginkan, tanpa mengubah ke sampel-sampel  tersebut maka kita tidak akan berhasil mencapai kepada makna yang kita inginkan.
Contoh:
Asal kalimat adalah Masdar : ضَرْبٌ dibaca : Dhorbun,bermakna : Pukulan.
Dirubah ke sampel Fi’il Madhi menjadi : ضَرَب dibaca :  Dhoroba, bermakna: Telah memukul.
Dirubah ke sampel Fi’il Mudhari’ menjadi : يَضْرِبُ dibaca:  Yadhribu bermakna : Akan memukul.
Dirubah ke sampel Fi’il Amar menjadi :  اِضْرِبْ dibaca : Idhribbermakna :  Pukullah! Dan sebagainya.
Contoh tersebut di atas dikatakan Tashrif, yaitu pengubahan asal bentuk yang satu kepada sampel-sampel bentuk yang lain untuk menghasilkan makna yang dimaksud.  Demikian pembahasan Definisi Tashrif menurut Bahasa dan Istilah. *** (Ibnu Toha).
Ref. – Klik PDF Kitab Kaelani : kailani[1]

Insert : Posisi Bahasa Arab

September 28, 2010
Segala puji bagi Allah, Shalawat dan Salam Tercurah limpahkan kepada Rasulullah saw.
Belajar Bahasa Arab merupakan Fardhu Kifayah, karena merupakan jalan untuk bisa memahami AL-QUR’AN dan ASSUNNAH, jika satu orang saja sekampung belajar Bahasa Arab, maka penduduk sekampung tidak akan berdosa. Ini kalau sekiranya disandarkan kepada penduduk kampung. Tapi kalau disandarkan kepada tiap individu Muslim, wajiblah belajar Bahasa Arab yang mana dalam amalan-amalan Fardlu seperti bacaan dalam Shalat, tidaklah shah tanpa Bahasa Arab. Imam Syafi’i berkata : wajib pada tiap-tiap Muslim untuk belajar Bahasa Arab kalau ingin sampai kepada kesungguhannya dalam melaksanakan kefardhuannya. Jika bukan karena mengamalkan Fardhu, maka belajar Bahasa Arab hukumnya sunnah, selain yang ingin mengetahui seluk beluk Syari’at Islam, karena wajib bagi para Alim Syari’at belajar Bahasa Arab untuk memahami tentang Syari’at Qur’ani atau Syari’at Haditsi.
Alllah berfirman :
[12:2] Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.
[26:195] dengan bahasa Arab yang jelas.
[16:103. Dan sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata : "Sesungguhnya Al Quran itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad)." Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya bahasa 'Ajam, sedang Al Quran adalah dalam bahasa Arab yang terang.
Bahasa ‘Ajam ialah bahasa selain bahasa Arab dan dapat juga berarti bahasa Arab yang tidak baik, karena orang yang dituduh mengajar Muhammad itu bukan orang Arab dan hanya tahu sedikit-sedikit bahasa Arab.
Dan masih banyak dalil ayat-ayat yang lain, bahwa AL-QUR’AN Berbahasa Arab dengan lisan Arab, bukan Berbahasa Ajam (selain Bahasa Arab) juga bukan dari lisan Ajam. maka jika ingin memahami al-Qur’an, fahamilah secara lisan Arab. AL-QUR’AN tidak akan bisa difahami tanpa pengetahuan secara lisan Arab.
Para Masyayikh berkata : Tidak boleh tidak, dalam menafsirkan Qur’an dan Hadits, harus mengetahui apa yg menjadi dalil atas apa yg dimaksud dan yg dikehendaki Allah dan Rosulnya dari lafadz-lafadz dan kalimat-kalimat, dan bagaiman cara memahami Firmannya. maka kita dituntut untuk mengetahui Bahsa Arab untuk menjelaskan pengertian dari maksud Firman Allah dan Sabda RasulNya. Begitu juga kita diharuskan mengetahui dalil-dalil secara Lafzhiy atas Ma’aniy. Karena banyak yang salah langkah dalam beragama, dikarenakan kurang fahamnya pada masalah ini. Sehingga mereka membawa-bawa Firman Allah dan Sabda Rasulullah sebagai dalil atas apa yang difatwakannya. Padahal yg dimaskud tidaklah demikian. (**)